Setiap orang pasti pernah ngerasa
down, terutama saat punya keinginan tapi nggak kesampaian atau saat melihat
teman main kita nampak lebih sukses dibandingkan kita, padahal kalau ingat waktu
kuliah dulu yang ngajarin doi ya kita-kita juga.. hehe.. atau saat orang lain
mencibir kita, “lulusan kampus anu kok kerjanya cuma anu” (ga perlu saya
detaili ya, kan bisa paham sendiri :D). Kita jadi depresi karena cita-cita yang
ga kesampaian, ekspektasi yang tidak terealisasi, atau mimpi-mimpi yang juga ga
terwujud. Dan ini jadi mengingatkan saya akan firman Allah di surat Al-Isra
ayat 83-84. Allah swt mengingatkan kita tentang kekurangan manusia saat
mengalami dua hal: (1) saat kebaikan menghampirinya dan (2) saat penderitaan
menimpanya. Allah swt berfirman
وَإِذَا
أَنْعَمْنَا عَلَى الإنْسَانِ أَعْرَضَ وَنَأَى بِجَانِبِهِ وَإِذَا مَسَّهُ
الشَّرُّ كَانَ يَئُوسًا
“wa idza” dan jika “an’amna” kami
berikan nikmat “alal insan” atas manusia “a’rodlo” berpalinglah ia “wa na a
bijaanibih” dan membelakanginya dengan sombong. Gambaran dari “wa na a
bijaanibih” itu seperti orang yang menganggap remeh dan receh atas sesuatu.
Atau di ayat lain (QS. Yunus: 12) Allah memberikan gambaran tentang bagaimana kenikmatan
kadang membuat kita berpaling dari ketaatan kepada Allah
tetapi setelah Kami hilangkan
bahaya itu darinya, dia (kembali) melalui (jalannya yang sesat), seolah-olah
dia tidak pernah berdoa kepada Kami untuk (menghilangkan) bahaya yang
telah menimpanya.
Ya.. manusia itu benar-benar
makhluk pelupa dan seringkali tidak pandai bersyukur :(
Sebaliknya, “wa idza” dan jika
“massahu” menimpanya “syar” keburukan “kaana ya’usaa” dia menjadi sangat
berputus asa. Dan by the way kata يَئُوسًا
dalam Bahasa arab menggambarkan kondisi putus asa yang ekstrim (bentuk
normalnya adalah يَأَس). Saat senang kita pikir semua kebaikan berasal dari diri kita
sendiri, saat menderita kita salahkan Allah atas keburukan yang menimpa kita. Padahal
ada yang menarik dari kata yang Allah pilih dari ayat ini, saat Allah sebutkan
kata nikmat, Allah gunakan kata “an’amna” (ada kata ganti “kami” yang tertulis
disana) sehingga diartikan saat kami (Allah) melimpahkan nikmat “alal insaan” pada
manusia, sedangkan saat Allah menyebutkan keburukan, Allah gunakan kata
“massahu syar” yang diartikan menjadi saat keburukan menimpanya, Allah
menghilangkan kata ganti “kami” disana, seolah-olah Allah mengatakan kebaikan
itu berasal dari Allah sedangkan keburukan bukan berasal dariNya.
Kita tentu saja menyadari bahwa
apapun yang menimpa kita, entah itu kebaikan atau keburukan pada dasarnya
keduanya datang dari Allah. Sesuatu yang buruk yang menimpa kita belum tentu
itu buruk bagi kita, kadang kita ga sadar ada kebaikan yang tersimpan di
dalamnya. Pernah terbayang? andai dulu saudara nabi Yusuf as tidak berusaha
untuk membunuh beliau, mungkin beliau tidak akan dijual di pasar budak, tidak
dibeli oleh pembesar mesir, tidak masuk ke dalam penjara, tidak menafsirkan
mimpi sang raja, dan akhirnya tidak akan menjadi pembesar di negeri Mesir? Pernah
denger istilah blessing in disguise? Awalnya kita pikir buruk ternyata malah
mendatangkan kebaikan buat kita.
Allah mengajarkan kita tentang adab,
walaupun kita tau bahwa baik atau buruk berasal dari Allah tidak berarti kita
mengatakan demikian. Ada saja orang-orang yang lemah imannya yang terus
menyalahkan Allah atas keburukan-keburukan yang menimpanya dan akhirnya
membuatnya berputus asa dari rahmat Allah. Kita tentu saja tau apapun yang
menimpa kita di dunia entah itu bahagia atau sengsara semuanya hanya sementara,
kadang kita senang kadang kita sedih, kadang kita ada di atas kadang ada di
bawah. Sometimes we have good day and sometimes we have bad day, but that’s all
part of our story, we just have to keep going.
Lalu Allah mengatakan di ayat
selanjutnya
قُلْ
كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى
سَبِيلا
“qul” katakanlah “kullun” setiap
orang “ya’malu” beramal “ala syaakilatih” menurut keadaannya masing-masing.
Allah swt sudah mengabarkan pada kita bahwa setiap orang adalah unik. Setiap
dari kita mendapatkan porsi rizki dan ujian yang berbeda-beda. Ada orang-orang
yang suka dengan sains, ada yang menyukai seni, sejarah, marketing, atau yang
lainnya. Ada orang-orang yang Allah uji dengan harta, kesehatan, atau
orang-orang di sekelilingnya, atau mungkin dengan akademiknya, atau yang
lainnya. Bahkan mungkin ada juga orang-orang yang tidak punya determinasi dalam
hidup, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan, lalu ia meminta saran pada orang
lain. Tapi percaya deh kalau seseorang meminta saran pada 100 orang maka ia
akan mendapat 100 pendapat. Kita harus sadar kalau setiap orang itu unik! Kita
bisa minta pendapat dari orang lain tapi kita yang harus menentukan apa yang
kita inginkan. Allah sudah memberi kita petunjuk, “ya’malu” bekerjalah,
berbuatlah, “ala syaakilatih” berdasarkan keahlian kita. Lalu apa keahlian
kita? Apa potensi kita? Apa talenta kita? Believe me, we will not know who we
are until we work! Kita ga pernah tau kita ini punya potensi apa kalau kita
hanya duduk, berdiam diri, dan menunggu hingga mengalami demensia -_- kita
harus berani mencoba sesuatu dan gagal adalah resiko. Memangnya ada orang
sukses yang nggak pernah gagal? Kita seharusnya khawatir, kalau kita tidak pernah
gagal dalam hidup jangan-jangan kita tidak pernah mencoba apapun. Nothing come
easy, behind any success are hours of plain hard work.
Lalu Allah menutup ayat ke 84
dengan “fa robbukum a’lamu” dan Tuhanmu mengetahui “biman huwa ahda sabiila”
terhadap siapa saja yang lebih benar jalannya. Allah tidak menggunakan huruf
alif dan lam pada kata sabiila, Allah menunjukkan pada kita bahwa setiap dari
kita memiliki jalan masing-masing. Jadi, tidak perlu mengharapkan sesuatu yang
ada pada orang lain. Atau kalau orang bilang, “Everyone is running their own
race in their own time zone. Don't envy or mock them. They are in their own
time zone and you are in yours“. Allah telah membuat setiap dari kita
istimewa dengan “syaakilat” kita, jadi sudah seharusnya yang menjadi tugas kita
sekarang adalah bekerja untuk mengetahui identitas kita, potensi kita,
kelebihan kita. Allah pun telah mengajari kita (Al-Imran:159) “fa idza ‘azamta
fatawakkal ‘alallah” maka jika kita telah membulatkan tekad maka bertawakallah
kepada Allah. Tidak ada hal yang sulit jika Allah menghendaki kemudahan bagi
kita. Tidak ada yang tidak mungkin jika Allah telah menakdirkannya untuk kita.
Dan satu hal lagi, saat kita
menjadikan keridoan Allah sebagai standar, kita tidak akan terlalu
mengkhawatirkan penghargaan dari manusia. Setiap orang akan melalui jalannya
masing-masing, tidak berarti bahwa manusia terbaik itu adalah dari lulusan
kampus anu dengan pekerjaan anu, lalu kita menganggap rendah pekerjaan kasar
seperti buruh atau pelayan toko. Coba kita lihat bagaimana barisan kaum
muslimin saat solat, kita ga pernah kan cek pekerjaan atau berapa besar gaji
seseorang saat kita berdiri dalam barisan salat? :”>
Komentar
Posting Komentar