Habis nonton Hanzawa Naoki entah tahun kapan, yang epik banget (kata saya sih :D) terus jadi ketagihan nonton film-film garapan Jun Ikeido. Terakhir, Jun release film terbarunya, Rikuou. Di episode pertama film ini, Daichi dan ayahnya yang adalah generasi ke-4 penerus usaha sepatu tradisional Jepang, “tabi” pergi menonton pertandingan marathon. Mogi, sang atlet marathon sebelumnya adalah pemain baseball yang karena cedera sikut harus mengubur mimpinya. Tapi walaupun sikut Mogi cedera, ia masih mampu berlari dan dimulailah karirnya sebagai atlet marathon.
Sayangnya menjelang garis finish, Mogi mengalami cedera pada salah satu kakinya. Pada akhirnya, Mogi harus keluar dari pertandingan tanpa melewati garis finish. Daichi yang awalnya begitu antusias, akhirnya bilang, “(di dunia ini) ada hal yang tidak bisa kamu raih, sekeras apapun kamu berusaha”.
Duh Jun Ikeido juara banget emang mainin emosi penonton dah T.T yang nonton kan jadinya ikut kebawa emosi hahahaha. Apalagi sebelumnya, Daichi digambarin berulang-ulang ngelamar kerja, berulang-ulang pula gagal.
Life isn’t fair, is it? Kesan itu yang saya dapet waktu nonton episode pertama film ini. Terus jadi keingetan ama tulisannya Oliver Emberton, “The problem isn’t that life is unfair – it’s your broken idea of fairness”. Oliver memberikan analisisnya tentang mengapa bagi kebanyakan orang, mereka melihat kalau hidup ini tidak adil. Ada hal-hal yang sebenarnya adalah basic rules tapi karena bukan merupakan keadaan yang menyenangkan maka kebanyakan orang lebih banyak melakukan denial daripada mengakui dan menaklukannya.
Peraturan No. 1: Hidup adalah Kompetisi
Bisnis yang kamu jalani? Seseorang mencoba untuk mematikannya. Pekerjaan yang kamu punya? Robot mulai mengambil alih. Pasangan hidup/karir/penghargaan/atau apapun yang kamu mau? Tidak ada alasan orang lain tidak akan merebutnya.
Kita semua berada di tengah laga kompetisi walaupun kita mencoba menyangkalnya. Kasus ojek/taksi/angkutan online dan offline adalah satu contoh nyata. Angkutan offline dipenuhi dengan beragam regulasi sedangkan angkutan online bisa menekan cost dengan beragam fleksibilitas yang menjadi kelebihannya. Adil? Berharap pemerintah turun tangan? Hei kamu lagi nunggu kereta di peron yang salah -_-
Kita semua berada di dunia yang kompetitif, survival for the fittest, begitu katanya. Bukankah semua pencapaian baru bisa di-recognized jika dibandingkan pada pencapaian orang lain? Nilai kamu terbaik di kelas, atlet sepak bola mencetak gol lebih banyak, kamu dapat follower dan likes di medsos melebihi temanmu yang lain. Begitu lah kompetisi. Masih di film Rikuou, ayah Daichi menunggu pengumuman pemenang tender, ia sudah memberikan presentasi yang begitu menyentuh perasaan, melambungkan harapan dan cita-cita, tapi coba tebak saingannya? Perusahaan kenamaan. Bukan seperti cerita opera sabun, Jun Ikeido memberikan hasil yang realistis, tentu saja ayah Daichi kalah tender. Genzo yang mengurusi bagian keuangan perusahaan bilang, “wajar saja kita kalah, kalau menang cukup dengan modal keinginan, akan ada banyak pemenang perlombaan”.
Jika kita menyangkal keberadaan kompetisi, kita sesungguhnya sudah kalah. “Everything in demand is on a competitive scale. And the best is only available to those who are willing to truly fight for it.” begitu kata Oliver Emberton.
Peraturan No. 2: Kamu Ditentukan oleh Apa yang Kamu Lakukan, bukan Apa yang Kamu Pikirkan
Masyarakat menilai seseorang dari apa yang mereka bisa lakukan untuk orang lain. Bisa jadi itu adalah dokter yang menolong korban kecelakaan, penemu obat kanker, mengajar anak jalanan, bahkan sekedar membuat orang tertawa dan melupakan kesedihannya. Lalu disanalah seseorang dihargai di tengah-tengah masyarakat.
Uniknya, peraturan ini terlihat sederhana, tapi kita lebih sering menilai diri sendiri dari apa yang kita pikirkan, bukan apa yang kita lakukan. “Saya ini orang yang baik”, “Saya sebenarnya mampu untuk melakukan yang lebih baik”. Kalimat-kalimat semacam ini mencoba menenangkan alam bawah sadar kita, padahal kita tahu bukan seperti itu dunia bekerja. Kita sendiri tidak menilai orang lain dari apa yang mereka pikirkan tentang diri mereka, tapi dari apa yang kita lihat dari perbuatan mereka. Jadi kalau kamu berpikir kalau kamu bisa melakukan hal yang lebih baik, jangan cuma dipikirkan, tapi wujudkan jadi kenyataan!
Yang menyedihkan lagi, sebaik apapun kita melakukan sesuatu, penghargaan itu diberikan berdasarkan pandangan subjektif tak tercatat di tengah-tengah masyarakat, bukan dari seberapa keras usahamu. Tukang sampah sekalipun jujur dan bekerja keras tetapi ia dihargai lebih rendah daripada para koruptor. Guru yang berdedikasi, lebih kecil penghargaannya dibandingkan supermodel. Oliver menggambarkannya dalam dua kurva menarik.
Kita ini lebih suka berpikir kalau masyarakat memberikan penghargaan kepada mereka yang bekerja keras, tetapi realitasnya penghargaan, perhatian adalah kerja dari jaringan. Mereka yang dihargai adalah mereka yang paling memberi dampak kepada sebanyak mungkin orang. Tulis saja buku yang tidak dipublikasi dan kamu tidak akan jadi siapa-siapa. Politisi yang meniti karir dari nol langsung tergilas oleh artis yang mendadak jadi politisi. Jadilah pengamen jalanan maka yang mendengar adalah para pelintas, jadi jawara Indonesian Idol, dunia melihatmu.
Menyebalkan bukan? Kita mungkin tidak bisa menerima, tapi realita tidak akan peduli. Kita ini ditentukan berdasarkan apa yang bisa kita lakukan dan berapa banyak orang yang menerima apa yang kita kerjakan.
Peraturan No. 3: Adil itu adalah tentang Kepentingan Pribadi
Kita manusia punya tendensi untuk menentukan apa yang baik dan apa yang buruk berdasarkan pandangan subjektif kita, lalu kita berharap dunia mengikutinya. Ayah kita, ibu kita, guru-guru kita mengatakan pada kita untuk mengikuti apa yang mereka minta dan lalu kita dapat rewardnya karena kita jadi anak yang penurut. Be a good boy and have some candy. Be a bad boy and have some injury :p
Tapi sayangnya kenyataan tentu saja berbeda. Kamu belajar keras, tapi gagal saat ujian. Kamu bekerja keras, tapi tidak linear dengan besarnya penghasilan. Kamu suka sama seseorang, tapi hanya bertepuk sebelah tangan. Jadi masalahnya bukan tentang hidup ini yang tidak adil, tapi persepsi kita tentang keadilan yang salah.
Coba saja kita ambil satu contoh. Kalau kamu suka sama seseorang tapi dia ga bales perasaan kamu, terus masalahnya apa? Orang yang ga bales perasaan kamu ya juga masih manusia. Seseorang yang selama bertahun-tahun berinteraksi dengan ratusan atau ribuan manusia yang berbeda setiap tahunnya. Diantara itu semua, untuk alasan apa dia harus milih kamu? Cuma karena kamu ada? Cuma karena kamu suka sama dia? Perasaan kamu mungkin masalah buat kamu, tapi keputusannya bukan tentang kamu, tapi tentang self interest nya.
Hal yang sama berlaku untuk kasus yang lain. Misalnya, perusahaan tempat kamu bekerja yang tiba-tiba melakukan pemutusan hubungan kerja. Kamu mungkin marah, tapi perusahaan tahu apa yang kamu nggak tahu, perusahaan mungkin bisa hancur jika tidak melakukan sesuatu yang kelihatannya sangat tidak popular, semacam lebih memilih pertumbuhan jangka panjang dibandingkan kesenangan jangka pendek. Bagaimanapun dunia luar mengobrak-abrik perasaan kamu, apa yang mereka lakukan hanyalah bagian dari menjalani hidup.
Put Fairness into Perspective
Apa yang sudah panjang-panjang dibahas sebelumnya hanyalah memberikan perspektif keadilan menggunakan logika awam. Karena sebagian besar dari kita begitu terpaku pada bagaimana seharusnya dunia bekerja dan melewatkan pertanyaan bagaimana hal itu terjadi. There is no such things as “ujug-ujug” kan? :p
Kalau kamu sudah mulai lelah dengan semua usahamu yang nampaknya belum juga menunjukkan hasilnya, saat kamu merasa dunia begitu sempit, saat kamu merasa mengapa yang menimpamu begitu tidak adil, ingat saja teladan terbaik manusia, nabi kita yang mulia shalallahu alaihi wassallam. Ketika beliau begitu totalitas menjalankan tugas yang Allah beri di muka bumi ini apa yang beliau dapat? Cacian, hinaan, fitnah, kehilangan harta, waktu, orang-orang yang beliau cintai, hingga penganiayaan secara fisik yang membuat raga beliau menjadi begitu lunglai dan beliau tersudut di kebun anggur seraya berdoa
Ya Allah, kepada-Mu aku adukan lemahnya kekuatanku, minimnya usahaku, dan ketidakberdayaanku menghadapi manusia. Wahai Zat Yang Maha Pengasih lagi Penyayang. Engkau Tuhannya orang-orang yang lemah dan Engkau Tuhanku. Kepada siapakah Engkau serahkan diriku? Apakah kepada orang jauh yang bermuka masam kepadaku? Ataukah kepada musuh yang Engkau kuasakan urusanku padanya? Jika Engkau tidak marah kepadaku, aku tidak peduli. Namun, ampunan-Mu lebih luas untukku. Aku berlindung dengan cahaya Wajah-Mu yang menerangi kegelapan, serta urusan dunia dan akhirat menjadi baik karena cahaya-Mu. Janganlah Engkau turunkan kemarahan-Mu kepadaku dan janganlah Engkau menimpakan murka-Mu kepadaku. Untuk-Mu keridhaan hingga Engkau ridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Mu.
(Sirah Ibnu Hisyam)
Dunia mungkin tidak adil dalam penglihatan kita, dan memang begitu cara kerja dunia. Kalau hanya enaknya saja, memangnya kamu pikir ini surga? :D Maka kalau sudah tahu begitu, tetaplah berusaha. Tapi yang perlu kita ingat adalah untuk alasan apa kita berusaha? Apakah untuk mendapat “kebaikan” dari pandangan manusia? Tidakkah akan lebih ringan jika tujuan dari segala tujuan adalah tentang pandangan dari Rabb nya manusia? Ingatlah kalau Allah tidak pernah melewatkan pengawasannya atas kita, dan kita akan melihat balasannya kelak (walaupun amal itu hanya seberat atom).
... Pada hari itu kamu diberi balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan.
(QS. Al-Jatsiyah : 28)
Komentar
Posting Komentar