Pagi itu, waktunya kami pulang menuju Bandung. Tak tahan dengan sakit kepala yang menghinggapi sejak semalam, tak pula menemukan obat sejuta umat -parasetamol- akhirnya saya memutuskan untuk mencari KOPI! Setidaknya buat penanganan akut pening di kepala ya lumayan lah.. at least increasing blood flow to my brain :p
Bagian serunya bukan di bagian minum kopinya.. tapi obrolan di warung kopi nya yang seru :D Awalnya sekedar iseng, saya mulai mengajak bicara bapak pemilik warung. Obrolan basa basi lah *kalo bahasa saya mah* mulai dari bertanya sudah berapa lama tinggal di Tidung sampai punya putra berapa. Saya juga agak lupa gimana alur ngobrolnya, si Bapak ini lalu mulai bercerita tentang pekerjaan sewaktu dia muda dulu. Beliau dulu adalah nelayan, mengarungi lautan untuk mencari ikan. Pencariannya tidak hanya di sekitar pulau Jawa, beliau bahkan berlayar sampai ke ujung timur Indonesia, Papua. Iseng saya nyeletuk, "Bapak udah pernah ke Raja Ampat dong?" si Bapak hanya tersenyum, "Kereeeen". Tapi ternyata, kehidupan sebagai nelayan tidak sekeren seperti komen saya barusan *ya eyalah,, dikira lagi wisata apa? haha* tak jarang ketika sudah lama melaut *bisa sampai berbulan-bulan, tergantung persediaan perbekalan yang dibawa* kalau tidak beruntung bisa bertemu dengan bajak laut. Bajak laut ini, merampas semua hasil tangkapan para nelayan. Ketika saya tanya kewarganegaraan para bajak laut ini, si Bapak bercerita, mereka biasanya orang Bugis, ada juga Cina nya. Keberadaan para bajak laut ini pula yang menyebabkan si Bapak malas untuk melaut lagi.
Banyak hal yang berubah yang Bapak ini lihat. Dulu, waktu Bapak masih kecil, di Tidung itu masih banyak pohonnya, udaranya juga sejuk, tidak seperti sekarang. Untuk berlayar dari Tidung ke Jakarta diperlukan waktu sampai satu hari. Saat itu yang diandalkan ya tenaga angin untuk mendorong layar sampai ke Jakarta. Beda dengan sekarang, dengan adanya mesin, perjalanan dari jakarta ke Tidung hanya perlu waktu sekitar 3 jam. Dulu di daerah kepulauan seribu, ikannya juga masih banyak. Sekarang, mereka perlu melaut sampai ke penjuru Indonesia untuk mendapatkan ikan. Ikan-ikan yang dijual di Muara Angke, didatangkan dari wilayah Bangka Belitung, Kalimantan. Sekali kapal pencari ikan merapat ke dermaga, mereka sekaligus mengangkut berton-ton es batu untuk menjaga ikan hasil tangkapannya tetap segar sampai ke Jakarta. Saya berpikir, apakah dari muara angke, ikan-ikan ini didistribusikan lagi ke tempat-tempat lain yang ada di Indonesia, atau memang masyarakat Jakarta dan sekitarnya memang begitu borosnya mengonsumsi sumber pangan yang berasal dari laut? Pikiran saya mulai berkeliaran, mulai dari memikirkan urusan betapa semerawutnya logistik di Indonesia, infrastruktur, distribusi ekonomi, sampai kesenjangan ekonomi yang begitu besar antara pulau yang satu dengan pulau yang lain, antara kota yang satu dengan kota yang lain yang ada di Indonesia. Tiba-tiba teringat pula salah satu kuliah tamu dari CEO perusahaan vaksin nasional, mengirim vaksin dari Indonesia ke Iran jauuuuh lebih mudah dibandingkan harus mengirimkan vaksin ke wilayah timur Indonesia. Padahal kita bisa bayangkan sendiri, jarak kota-kota di Indonesia jauuuuuuh lebih dekat dibandingkan jarak antara Indonesia-Iran *OOT beud nih kalimat terakhir.. haha*
Awalnya pengunjung di Pulau Tidung tidak seramai sekarang. Akan tetapi, seiring dengan dibangunnya infrastruktur menuju Pulau Tidung, semakin banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang berkunjung ke pulau ini. Ujung-ujungnya dengan pemberdayaan masyarakat sekitar, ekonomi mereka pun akhirnya hidup lewat sektor pariwisata. Saya belajar satu hal, tidak perlu "menjual wanita" dengan dalih menarik wisatawan. Indonesia itu sudah dianugerahi keindahan alam yang luar biasa, bahkan tanpa ada iklan saja, keeksotisan yang dimiliki Indonesia tidak sedikit yang menarik perhatian para wisatawan mancanegara. Bahkan satu hal yang uniknya lagi, untuk sampai ke Pulau tidung lewat jalur pelabuhan muara angke, kapal yang membawa wisatawan sampai ke pulau tidung bener-bener seadanya dan membuat tidak nyaman, orang-orang berdesakan di dalam kapal. Tapi, waktu saya tanya nahkoda kapal, ternyata ada juga bule yang naik kapal ini. wew. Entah juga ya kalo bulenya emang pingin ngerasain gimana rasanya "hidup sebagai rakyat di dunia ketiga" hahaha
Cerita dari Bapak pemilik warung kopi berbeda lagi dengan cerita Bapak nahkoda kapal. Bapak yang satu ini juga sama, dulunya adalah nelayan, ga jauh beda sama Bapak pemilik warung kopi, Bapak nahkoda juga pernah bertemu dengan bajak laut. "Kalau semua hasil tangkapan sudah dirampas, ya mau gimana lagi, daripada kehilangan nyawa ya diserahkan saja," ujarnya, "Kita sih paling rugi badan aja, kalo bos pemilik kapal ya rugi uang. Di laut nggak sama kayak di darat, kalau di darat dirampok bisa lari, kalo dirampok di laut, mau lari kemana?". Karena khawatir bertemu bajak laut, mereka sampai-sampai tidak menyalakan lampu di waktu malam supaya tidak teridentifikasi para bajak laut. Yang diandalkan adalah penerangan dari kompas *paraaah gila.. ni susahnya kek apa coba?? o.O* saya mengintip alat navigasi di depan bapak nahkoda ini, melihat hamparan laut yang begitu luas, dan pulau-pulau yang ada di sebrangnya. Lalu teringat dengan pelajaran matematika, "jurusan tiga angka" hahaha. Waktu itu, ombak agak besar, benturan-benturan di lambung kapal sangat terasa, ujung-ujungnya tidak sedikit penumpang kapal yang akhirnya mabuk laut. Dan Bapaknya bilang benturan segitu sih masih belum seberapa, bulan Desember bisa lebih besar lagi ombaknya *WHAAT?! O.o
Cerita singkat dari Pulau sebrang.. masih di Jawa sih.. mudah-mudahan ada kali lain, saya bisa berpetualang ke pulau-pulau lain yang ada di Indonesia.. aamiin aamiin aamiin XD XD belajar kearifan hidup dari penduduk lokal dan menyadari begitu banyak hal yang harus saya syukuri dalam hidup ini
"fa bi ayyi aalaa-i robbikuma tukadziban"
Komentar
Posting Komentar