Kita mungkin kadang bertanya, mengapa emosi dan rasio kita tidak sejalan? Kita tahu berbohong itu dosa, tapi kita melakukannya, kita tahu kalau riba itu haram, tapi kita memakannya, kita tahu kalau pacaran itu dilarang, tapi kita mendekatinya. Neuroscientist mengatakan, di dalam otak kita ada pusat kendali emosi manusia, yaitu amygdala. Dalam keadaan terancam, amygdala akan mengambil alih mekanisme berpikir rasional kita dalam waktu yang sangat cepat, atau istilah kerennya adalah amygdala hijack. Tapi apa kita tidak bisa mengendalikannya? Tentu saja bisa!
Amygdala ibarat bank memori emosi otak, di dalamnya ada memori tentang kejayaan, kegagalan, harapan, ketakutan. Ia adalah tempat penyimpanan arsip pengalaman masa lalu. Semua pengalaman emosi yang kita lalui akan membentuk sirkuit kecerdasan emosi kita. Sama seperti otot yang semakin terbentuk dengan melakukan latihan fisik, begitupun dengan sirkuit emosi kita. Jadi, kita bisa mengendalikan emosi kita? Secara teori jawabannya adalah iya, secara praktis pun jawabannya sama. Di wilayah prefrontral otak, neuron-neuron inhibitor (penghambat) dapat memveto pesan-pesan impulsif dari amygdala. Oleh karena itu, salah satu cara untuk keluar dari amygdala hijacking adalah berhenti sejenak berikan waktu bagi frontal neo cortex a.k.a pikiran rasional kita sebelum kita melakukan apapun.
Hidayah atau petunjuk adalah ilmu. Ia adalah supplier rasio kita, sedangkan nafsu terkait dengan emosi kita. Oleh karena itu, Nabi shalallahu alaihi wassallam berpesan,
لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ
“Tidaklah beriman salah seorang di antara kalian sampai ia menundukkan hawa nafsunya untuk tunduk pada ajaran yang aku bawa.”
Begitupun dengan firman Allah Ta’ala,
فَلَا وَرَبِّكَ لَا يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لَا يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا
“Maka demi Tuhanmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka sesuatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisa: 65)
Iman itu terlepas ketika kita melakukan maksiat. Rasulullah shalallahu alaihi wassallam mengatakan, "Seorang hamba itu tidak dikatakan beriman ketika ia berzina, tidak dikatakan beriman ketika mencuri dan tidak dikatakan beriman ketika ia membunuh."
Ketika kita melakukan maksiat, pada dasarnya saat itu hawa nafsu telah menang dan menguasai diri kita, sedangkan iman telah kalah dan hilang. Mudah menuliskannya memang, tapi merealisasikannya adalah perjuangan seumur hidup. Dan Allah tahu ciptaanNya ini seringkali lupa, sama seperti nama yang melekat padanya, al insan, yang asal katanya adalah nasiya yang artinya adalah lupa. Oleh karena itu, Allah mengajarkan kita doa yang luar biasa
رَبَّنَا لَا تُزِغْ قُلُوبَنَا بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَنَا وَهَبْ لَنَا مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً ۚ إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ
“Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami menyimpang kepada kesesatan, setelah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi-Mu, karena sesungguhnya Engkau Maha Pemberi (Karunia).”
Saat kita mulai menjauh dari petunjukNya dan hati kita cenderung pada kesesatan, Allah senantiasa menarik kita kembali menuju rahmatNya. Maka, jika hati ini mulai mengarah kembali pada penyimpangan, panjatkanlah kembali doa ini, doa yang sangat hebat untuk memohon keteguhan hati. Di akhir buku ini, tak lupa kupanjatkan doa, semoga Allah menguatkan hijrahku, hijrahmu, dan hijrah kita 😊 Aamiin yaa Rabb al alamiin.
فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى ٱللَّهِ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلْمُتَوَكِّلِينَ
"Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya." (QS. Al-Imran [3]: 159)
Komentar
Posting Komentar