Langsung ke konten utama

Pajak dalam Sistem Kapitalis vs Pajak dalam Sistem Islam


Isu terkait pajak semakin marak, terutama ketika pemerintah menggencarkan program tax amnesty atau pengampunan pajak. Program tax amnesty ini disinyalir muncul setelah dunia dihebohkan dengan isu panama papers yang mengungkap jutaan dokumen terkait aktivitas sejumlah kalangan elit super kaya yang menggunakan perusahaan offshore untuk menyembunyikan kekayaan mereka dengan berbagai alasan yang salah satunya adalah penghindaran pajak. Berdasarkan laporan Capegemini, firma riset keuangan asal Prancis (2015), kekayaan milik kelompok HNWI (High Net Worth Individual, individu beraset tinggi) asal Indonesia terdapat 47.000 warga negara Indonesia (WNI) dengan total kekayaan diperkirakan mencapai US$ 157 milyar atau setara dengan Rp 2.000 trilyun. Dengan potensi dana yang begitu besar, pemerintah berusaha untuk menarik kembali dana milik WNI untuk pulang ke Indonesia atau dikenal dengan repatriasi dana. Dengan UU No.11 2016 tentang Pengampunan Pajak, kelompok HNWI tidak perlu khawatir dengan tariff pajak progersif PPh 25/29 yang mencapai 30% (batas tertinggi). Selama individu yang mendeklarasikan kekayaan yang selama ini ia sembunyikan di luar negeri, dan bersedia menarik dana itu dan menginvestasikannya di dalam negeri (repatriasi), mereka hanya akan dikenai tarif pajak 2%, tetapi jika mereka hanya melakukan deklarasi tapi tidak melakukan repatriasi maka pajaknya sebesar 4%. Singapura sebagai negara yang menjadi “tempat parkir” dana milyarder Indonesia segera merespon dengan mendekati para klien agar tidak melakukan repatriasi tetapi cukup melakukan deklarasi dan uang tebusan sebesar 4% akan dibayarkan oleh pihak singapura. Disinyalir terdapat sekitar 900 rekening milik pengusaha Indonesia di Singapura dengan total asset Rp 3.000 triliun.

Di bawah kapitalisme, pemerintah memberlakukan berbagai jenis pajak. Di negara-negara maju, individu membayar pajak penghasilan ketika mereka mendapatkan uang, pajak konsumsi ketika mereka berbelanja, pajak properti ketika mereka memiliki rumah atau tanah, dan dalam beberapa kasus pajak estate ketika mereka mati. Pajak atas pendapatan masyarakat memainkan peran penting dalam sistem pendapatan dari semua negara-negara maju. Di Amerika Serikat, pajak penghasilan pribadi adalah sumber terbesar dari pendapatan untuk pemerintah. Pada tahun 2006 itu menyumbang hampir 50% dari seluruh pendapatan federal. Di negara maju pajak penghasilan bisa mencapai hingga 52%. Berbeda dengan di Indonesia, dimana kue pendapatan negara dari PPh 25/29 sangat tidak signifikan. Berdasarkan Bawono Kristiaji, pada 2015 lalu, misalnya, kontribusi PPh 25/29 hanya mencapai Rp 9 trilyun, dari total penerimaan pajak 2015, yang mencapai sekitar Rp 1.000 trilyun yang artinya tidak sampai 1%.

Tingginya tingkat pajak penghasilan memicu munculnya Tax haven, disamping aktivitas illegal seperti penjualan obat-obatan terlarang, prostitusi, pembiayaan terorisme, perdagangan senjata, ataupun pencucian uang. Tax haven pada dasarnya adalah yuridiksi yang menciptakan aturan hukum untuk memudahkan transaksi yang dilakukan oleh seseorang yang bukan warga negaranya untuk menghindari pajak dan/atau regulasi dimana mereka difasilitasi dengan menyediakan hukum kerahasiaan sehingga pengguna fasilitas sulit diketahui.

Praktek penghindaraan pajak pada dasarnya telah bermula beriringan dengan evolusi industri. Tax haven merupakan entitas legal dengan alasan yang sederhana bahwasanya negara tersebut merupakan negara berdaulat yang memiliki hak legal untuk menuliskan aturan domestic mereka sendiri. Mereka pun berhak untuk menuliskan kode pajak dan hukum finansial berdasarkan yang mereka inginkan sekalipun dianggap berbahaya bagi pihak lain. Legal dalam hal ini berarti “dibolehkan di bawah payung hukum”.

Penelitian tentang dampak agregat  praktek penghindaraan pajak melalui Tax haven pada dunia industri dapat dikatatakan termasuk relatif baru. Sampai akhir 1990-an, tax haven dianggap sebagai sebagai masalah yang relatif kecil seputar masalah penghindaran pajak dan penggelapan. Data BIS (Bank for International Settlements) pada awal 1980-an, dikombinasikan dengan studi yang dilakukan oleh IMF pada tahun 1994 meningkatkan kesadaran akan pengaruh keberadaan Tax haven dengan ekonomi dunia. Dua pertimbangan kebijakan utama terkait dengan tax haven adalah masalah pajak dan regulasi finansial. Namun efek keseluruhan dari tax havens di negara-negara industri sulit untuk diukur. Pada akhirnya perdebatan seputar tax haven, cenderung sangat ideologis. Ideolog pro pasar cenderung mendukung tax havens karena dianggap berguna untuk mengimbangi kecenderungan ekspansi birokrasi dan negara "rent-seeking" (para pencari tarif sewa), serta menawarkan kompetisi terhadap pusat finansial on-shore. Aktivis sayap kiri dan social democrat melihat tax haven sebagai kendaraan penindasan, komponen kunci dalam "shadow economy" raksasa yang mencakup seluruh dunia dan beroperasi untuk dan oleh orang kaya dan berkuasa. Shadow economy ini bergantung pada ekonomi on-shore utama untuk menyediakan infrastruktur logistic, politik, hukum yang dibutuhkan untuk menopang ekonomi dunia yang berkembang, dimana pembiayaan ekonomi ini ada pada orang-orang dengan upah menengah dan rendah. Perdebatan menjadi terlepas dari esensinya bahwa tax haven faktor penyumbang signifikan atas satu faktor yang dikenal dalam globalisasi, yaitu kesenjangan yang meningkat antara kaya dan miskin.

Kalangan super-kaya dan korporasi dapat mengambil keuntungan dari solusi penghindaran pajak mahal untuk menyembunyikan kekayaan mereka dari mata negara. Ini berarti bahwa beban pajak jatuh pada sisa masyarakat untuk memenuhi pengeluaran negara. Selama masa ekonomi sulit, pemerintah kehilangan pajak yang sah dari kalangan super kaya sehingga menuntut peningkatan pajak (langsung dan tidak langsung) pada orang-orang miskin untuk memenuhi pengeluaran negara, dan memangkas dana untuk pendidikan, kesehatan dan layanan prioritas lainnya. Presiden AS Obama, mengakui ketidakadilan sistem perpajakan dan berkata "Ini berarti bahwa kita tidak berinvestasi sebanyak yang seharusnya pada sekolah, dalam membuat kuliah lebih terjangkau, dalam memberikan pekerjaan, membangun kembali jalan, jembatan, infrastruktur, menciptakan lebih banyak kesempatan bagi anak-anak kita”. Oleh karena itu, pada akhirnya orang miskin kalah, sementara yang kaya dan berkuasa dapat menikmati gaya hidup mewah mereka. Tidak mengherankan jika buah dari kapitalisme global menghasilkan statistik seperti “67 orang terkaya di dunia memiliki kekayaan yang sama dengan 3,2 miliar manusia”.


Kebijakan Perpajakan dalam Islam
Perpajakan dalam Islam adalah pada kekayaan bukan penghasilan. Jika negara Islam tidak dapat memenuhi pengeluarannya, pajak darurat dapat dikenakan pada kalangan super-kaya untuk mengumpulkan dana. Selain itu, pajak tidak langsung seperti biaya, izin, bea materai, pajak penjualan dll tidak diperbolehkan. Oleh karena itu, masyarakat miskin tidak perlu takut menjadi pihak yang terbebani besarnya pajak dan orang kaya tidak perlu takut kekayaan mereka akan direbut oleh negara. Fokus Islam adalah untuk memutus monopoli orang kaya dan untuk memastikan kekayaan beredar di masyarakat. Perpajakan dipandang dalam konteks ini. Allah berfirman:

ما أفاء الله على رسوله من أهل القرى فلله وللرسول ولذي القربى واليتامى والمساكين وابن السبيل كي لا يكون دولة بين الأغنياء منكم وما آتاكم الرسول فخذوه وما نهاكم عنه فانتهوا واتقوا الله إن الله شديد العقاب

"Apa saja harta rampasan (fa-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, untuk Rasul, kaum kerabat, anak yatim, orang-orang miskin dan musafir. Agar harta itu jangan beredar di antara orang-orang kaya saja diantara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukumannya." (Al-Hasyr: 7)

Pajak atau yang dikenal dengan istilah dlaribah pada dasarnya adalah harta yang diwajibkan Allah swt kepada kaum Muslim untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan atas mereka, pada kondisi baitul mal kaum muslim mengalami kekosongan harta. Baitul mal sendiri memiliki pos-pos pemasukan yang berasal dari fai, kharaj, ‘usyur, dan harta milik umum yang dialihkan menjadi milik negara. Semua itu cukup untuk membiayai apa yang diwajibkan atas baitul mal pembiayaannya, baik dalam kondisi ada uang/harta maupun tidak, yang berhubungan dengan pemeliharaan urusan umat dan mewujudkan kemaslahatannya. Pada kondisi itu, negara tidak memerlukan pungutan pajak atas kaum Muslim. Jika tidak ada uang/harta di baitul mal, maka kewajibannya (beralih) kepada kaum Muslim untuk membiayainya.

Akan tetapi, pada saat ini tidak dapat dipungkiri beban yang akan dipikul oleh negara khilafah sangatlah besar, sehingga pendapatan tetap baitul mal bisa tidak cukup untuk menutupi pembiayaan wajib baitul mal, baik untuk berbagai kebutuhan maupun pos-pos pengeluaran lain yang harus dipenuhi, baik di baitul mal ada uang maupun sedang tidak ada uang. Jika dari pendapatan ini tidak cukup, dan uang baitul mal untuk membiayai berbagai kebutuhan dan menutupi pos-pos pengeluaran yang menjadi tanggungannya –dalam kondisi ada uang maupun tidak ada tetap tidak bisa menutupinya-, dan sumbangan dari kaum Muslim juga tidak mencukupi untuk menutupi pembiayaan berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran, maka pada saat itulah kewajiban pembiayaan berbagai kebutuhan dan untuk pos-pos pengeluaran beralih kepada kaum Muslim. Karena Allah telah mewajibkan atas mereka untuk membiayai berbagai kebutuhan maupun pos-pos pengeluaran tersebut. Jika berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran itu tidak dibiayai, maka akan timbul kemudharatan atas kaum Muslim. Padahal Allah juga telah mewajibkan negara dan umat untuk menghilangkan kemudharatan yang menimpa kaum Muslim, yaitu jika tidak ada harta sama sekali, dan kaum Muslim tidak ada yang mendermakan. Sabda Rasulullah saw:

Tidak boleh ada bahaya (dlarar) dan (saling) membahayakan. (HR. Ibnu Majah dan Ahmad)

Allah Swt memberikan hak kepada negara untuk mendapatkan harta dalam rangka menutupi berbagai kebutuhan dan kemaslahatan tersebut dari kaum Muslim. Jika terjadi kondisi tersebut, negara mewajibkan kaum Muslim untuk membayar pajak hanya untuk menutupi (kekurangan biaya terhadap) berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang diwajibkan, sebatas kekurangannya saja hingga terpenuhi. Kewajiban membayar pajak tersebut hanya dibebankan atas mereka yang mempunyai kelebihan dalam memenuhi kebutuhan pokok dan pelengkap dengan cara yang ma’ruf. Kewajiban pajak digunakan untuk membiayai hal-hal berikut:

  1. pembiayaan jihad dan segala hal yang harus dipenuhi yang terkait dengan jihad, seperti pembentukan pasukan yang kuat, latihan militer dalam skala luas, pengadaan peralatan militer canggih yang mampu menggentarkan musuh, yang mampu memukul musuh-musuh kita, yang dapat membebaskan negeri-negeri kita dari serangan dan pendudukan orang-orang kafir, yang memungkinkan penyebarluasan dakwah Islam ke seluruh dunia.
  2. Pembiayaan industri militer dan industri serta pabrik-pabrik penunjangnya, yang memungkinkan negara memiliki industri senjata.
  3. Pembiayaan para fuqara, orang-orang miskin, ibnu sabil.
  4. Pembiayaan untuk gaji tentara, para pegawai, para hakim, para guru, dan lain-lain yang melaksanakan pelayanan masyarakat untuk kemaslahatan kaum Muslim dan mereka berhak memperoleh upah/gaji dari baitul mal atas pekerjaannya itu.
  5. Pembiayaan yang harus dikeluarkan untuk kemaslahatan dan kemanfaatan umat, yang keberadaannya sangat dibutuhkan, dan jika tidak dibiayai maka bahaya (dlarar) akan menimpa umat. Misalnya untuk (pembiayaan) jalan-jalan umum, sekolah-sekolah, universitas, rumah sakit, masjid-masjid, pengadaan saluran air minum, dan lain-lain.
  6. Pembiayaan untuk keadaan darurat (bencana), seperti tanah longsor, gempa bumi dan angin topan, atau mengusir musuh. Pembiayaan untuk urusan-urusan ini tetap dilakukan walaupun peristiwanya tidak ada, bahkan termasuk pembiayaan yang bersifat tetap, harus dipenuhi baik ada uang/harta maupun tidak ada di baitul mal.


Pajak diambil dari kaum Muslim yang memiliki kelebihan harta setelah mereka mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya secara sempurna, sesuai dengan standard hidup tempat mereka tinggal. Siapa saja di antara kaum Muslim yang memiliki kelebihan harta, setelah mampu memenuhi kebutuhan dasar dan pelengkapnya, maka atas mereka diambil pajak. Dan siapa saja yang tidak memiliki kelebihan harta, maka pajak tidak diambil dari yang bersangkutan. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah saw:

Sebaik-baiknya shadaqah adalah yang berasal dari orang-orang kaya. (HR. Bukhari melalui jalur Abu Hurairah)

Orang kaya adalah orang yang keadaan (hartanya) lebih dari manusia lain, dalam hal kemampuan memenuhi kebutuhannya. Diriwayatkan dari Jabir, bahwa Rasulullah saw bersabda:


Dan pintu terakhir yang wajib pembiayaannya setelah diri mereka sendiri (dan seterusnya) adalah pajak. Pajak serupa dengan nafkah. Juga serupa dengan shadaqah. Allah Swt berfirman:

 Dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah: ‘Yang lebih dari keperluan’. (TQS. al-Baqarah [2]: 219)

Dengan kata lain pengeluaran tersebut tidak memerlukan usaha yang sungguh-sungguh, melainkan kelebihan dari yang dibutuhkan. Pajak diambil dari kelebihan tersebut. Jadi bukan berasal dari harta yang hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan.

Pajak diwajibkan berdasarkan pada besarnya kebutuhan dan kemampuan memenuhi pembelanjaan rutin atas hal-hal yang telah disebutkan sebelumnya. Pajak tidak boleh dipaksakan pengambilannya melebihi kesanggupan, atau melebihi kadar harta orang-orang kaya, atau berusaha untuk menambah pemasukan baitul mal. Dengan kata lain pajak tidak boleh diwajibkan, kecuali sekedar untuk memenuhi pembiayaan rutin pos-pos tersebut. Pajak tidak boleh diambil lebih dari itu. Sebab pengambilan yang lebih berarti dzalim. Dan hal ini bukan kewajiban kaum Muslim untuk membayarnya. Orang yang dzalim akan tertindas pada hari kiamat

Negara tidak boleh mewajibkan pajak tanpa adanya kebutuhan yang mendadak (mendesak). Demikian juga negara tidak boleh mewajibkan pajak dalam bentuk keputusan pengadilan, atau untuk pungutan biaya dimuka (dalam urusan administrasi) negara. Negara juga tidak boleh mewajibkan pajak atas transaksi jual beli tanah dan pengurusan surat-suratnya, gedung-gedung, timbangan (atas barang-barang dagangan), atau lainnya yang bukan bagian dari bentuk-bentuk pajak yang telah dibahas. Dengan mewajibkannya berarti telah berlaku dzalim, dan ini dilarang. Bahkan termasuk ke dalam tindakan memungut cukai (al-maksu), seperti sabda Rasulullah saw:

Tidak akan masuk surga orang-orang yang memungut cukai. (HR. Ahmad, ad-Darami dan Abu Ubaid)


Rencana Indonesia Membentuk Tax Haven
Setelah tax amnesty, pemerintah Indonesia kini mempertimbangkan untuk menurunkan tarif Pajak Penghasilan (PPh) Badan, dan bahkan muncul lagi wacana baru yaitu membentuk wilayah suaka pajak (tax haven). Di tengah perdebatan akademisi yang semakin menyudutkan keberadaan negara-negara suaka pajak, Indonesia justru mengambil langkah mundur dengan melakukan inisiasi pembentukan tax haven. Hal ini semakin menunjukkan bahwa pemerintah tidak punya daya dihadapan para kapitalis, penguasa sebenarnya. Praktek perpajakan di bawah sistem kapitalis pada faktanya hanya meningkatkan kesenjangan antara golongan kaya dan miskin karena pada akhirnya para pemilik modal mereka akan selalu mendapatkan keistimewaan untuk membuat peraturan yang akan selalu menguntungkan mereka. Fenomena tax haven dan tax amnesty menjadi bukti yang nyata ketidakberdayaan nation state dihadapan para kapitalis. Hal ini terjadi secara sistematis dan mengglobal. Oleh karena itu, mengembalikan kembali khilafah Islam adalah solusi sistematis permasalahan ekonomi yang juga memberikan pengaruh secara global. Hanya di bawah naungan khilafah islam, sistem perpajakan akan menghantarkan pada terwujudnya keadilan dan kesejahteraan sebagaimana karakter Islam yang merupakan rahmat bagi semester alam.

Wallahu ‘alam.


Daftar Bacaan:
Sistem Keuangan Negara Khilafah
Tax Havens: How Globalization Really Works


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Ganti dalam Bahasa Arab [Kata Ganti untuk Allah]

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ Kalau dalam Bahasa Indonesia kita mengenal kata ganti yang bebas dari orientasi gender, seperti saya, kamu, dia, mereka, dst. Dalam Bahasa Inggris kita belajar kata ganti he untuk laki-laki, she untuk perempuan, dan it yang netral gender. Nah, dalam Bahasa Arab ada dua gender, yaitu mudzakkar (yang menunjukkan laki-laki) dan muannats (yang menunjukkan perempuan). Kalau dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa inggris dikenal kata ganti tunggal dan jamak, dalam Bahasa Arab dikenal kata ganti tunggal (mufrod), ganda (mutsanna), dan jamak. Jadi, jika dikumpulkan ada 12 kata ganti dalam Bahasa arab, yaitu: 1. هُوَ (Dia [laki-laki]): untuk orang ketiga (yang dibicarakan), tunggal (mufrad), mudzakkar. 2. هُمَا (Mereka berdua [laki-laki/perempuan]): untuk orang ketiga, ganda (mutsanna), baik mudzakkar maupun muannats. 3. هُمْ (Mereka [banyak laki-laki]): untuk orang ketiga, jamak, mudzakkar. 4. هِيَ (Dia [perempuan]): untuk orang ketiga, mufrad, muannats. 5. هُ...

Kata Benda dan Kata Kerja dalam Bahasa Arab

Dalam Bahasa Arab seseorang/sesuatu dapat dideskripsikan dalam bentuk kata kerja/verb (fi'il/فعل) atau kata benda/noun (isim/اسم). Dalam bahasa arab, dikenal 2 bentuk tenses: 1. fi'il madhi, kata kerja dalam bentuk lampau, past tenses, Yang menggambarkan sesuatu yang sudah terjadi, dan 2. Fi'il mudhori, Present-future tense, menggambarkan sesuatu yang belum selesai, menggambarkan kondisi sekarang dan yang akan datang. Sebagai contoh, ketika dikatakan اضرب (adribu) berarti I am hitting, ini adalah contoh fi'il mudhari يضرب + kata ganti untuk انا (saya) yang bermakna saya sekarang sedang memukul dan masih memukul (bentuk present-future tense). Ketika sudah selesai maka berubah menjadi ضربت (dhorobtu) yg merupakan bentuk fi'il madhi ضرب + kata ganti انا yg artinya saya memukul dan kejadiannya sudah berlalu (bentuk past tense). Seseorang/sesuatu dapat dideskripsikan dalam kata kerja atau kata benda. Bentuk Kata benda (ism faa'il) mengindikasikan bahwa subje...

Teori Machiavelli

"Harus diingat bahwa manusia harus dicintai atau dihancurkan; mereka akan menuntut balas akan luka ringan mereka, namun mereka tidak akan dapat melakukan hal serupa apabila mereka terluka parah. Oleh karena itu, luka yang kita sebabkan haruslah sebesar-besarnya sehingga kita tidak harus takut akan balasan mereka." " Membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama; kesemua hal ini tidak dapat digolongkan tindakan yang bermoral, namun metode-metode ini dapat memberikan kekuatan, namun bukan kemuliaan" "Manusia tidak segan2 (lebih) membela orang yang mereka takuti dibanding yang mereka cintai. Karena cinta diikat oleh rantai kewajiban.. pada saat manusia telah mendapatkan apa yang diinginkannya, rantai tersebut akan putus. (sebaliknya) rasa takut tidak akan pernah gagal..." "orang-orang besar tidak mencapai kebesaran mereka karena keuntungan, ...