Langsung ke konten utama

Kisah Tobat Kaab bin Malik

Dari Abdullah bin Ka’ab bin Malik ra. (beliau adalah salah seorang panglima perang), dari anaknya, ia berkata: “Saya mendengar Ka’ab bin Malik bercerita tentang tertinggalnya (tidak bersama) Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Ka’ab bin Malik berkata: “Saya selalu bersama Rasulullah saw. dalam setiap peperangan, kecuali dalam perang Tabuk. Memang, saya juga tidak bersama beliau dalam perang Badar, tetapi tak seorangpun dicela, karena tidak ikut perang tersebut. Sebab waktu itu Rasulullah saw. bersama kaum muslimin keluar bertujuan menghadang rombongan Quraisy, lalu tanpa terduga Allah mempertemukan mereka dengan musuh. Sungguh aku mengikuti pertemuan bersama Rasulullah saw. pada malam hari di dekat Jumrah Aqabah, ketika kami berjanji memeluk agama Islam. Saya tidak merasa lebih senang seandainya saya bisa mengikuti perang Badar, tetapi tidak mengikuti Baiat di Jumrah Aqabah, meskipun perang Badar lebih banyak disebut-sebut keutamaannya di kalangan manusia daripada Baiat di Jumrah Aqabah. Adapun cerita tentang diriku tidak ikut perang Tabuk, waktu itu saya sama sekali tidak merasa lebih kuat ataupun lebih mudah (mencari perlengkapan perang), daripada ketika aku tertinggal dari Rasulullah saw. dalam perang Tabuk. Demi Allah sebelum perang Tabuk saya tidak dapat mengumpulkan dua kendaraan sekaligus, tetapi waktu perang Tabuk kalau mau saya bisa melakukannya. Dikarenakan Rasulullah saw. berangkat ke Tabuk ketika hari sangat panas, menghadapi perjalanan sangat jauh dan sulit, serta menghadapi musuh yang berjumlah besar, maka Rasulullah saw. merasa perlu membekali kaum Muslimin akan kesulitan-kesulitan yang mungkin dihadapi, agar kaum Muslimin membuat persiapan yang cukup. Rasulullah saw. juga menjelaskan tentang tujuan mereka.
Waktu itu, kaum Muslimin yang ikut perang Tabuk bersama Rasulullah saw. cukup banyak (sekitar 30.000 orang), tetapi nama-nama mereka tidak tercatat dalam buku. Sedikit sekali di antara mereka yang absen (bersembunyi tidak ikut perang). Orang-orang yang absen itu mengira bahwa Rasulullah saw. tidak mengetahuinya, selama wahyu Allah tidak turun.
Rasulullah saw. berangkat ke Tabuk ketika buah-buahan dan tetumbuhan kelihatan bagus. Karena itu, hatiku lebih condong kesana (kepada buah-buahan dan tetumbuhan). Tatkala Rasulullah dan kaum Muslimin hendak berangkat mempersiapkan segala sesuatunya, akupun bergegas keluar, guna mempersiapkan diri bersama mereka. Namun saya kembali tanpa menghasilkan apa-apa, padahal dalam hati saya berkata: “Saya mampu mempersiapkannya jika sungguh-sungguh.” Demikian itu berlangsung terus, dan saya selalu menundanya untuk mempersiapkan perlengkapan perang, sampai kesibukan kaum muslimin memuncak. Pada akhirnya, di pagi hari Rasulullah saw. beserta kaum Muslimin berangkat, sementara saya belum mengadakan persiapan. Lalu saya keluar (untuk mencari perlengkapan), tetapi saya kembali dengan tangan kosong. Hingga kaum Muslimin bertambah jauh dan pertempuran semakin dekat. Kemudian saya putuskan untuk menyusul kaum muslimin. Dengan perasaan menyesal saya berkata: “Andai saja saya berbuat demikian, namun takdir menentukan lain.”
Akhirnya, apabila saya keluar dan bergaul dengan masyarakat sesudah berangkatnya Rasulullah saw. hatiku resah dan saya menganggap diri ini tidak lebih sebagai seorang munafik, atau lelaki yang diberi keringanan oleh Allah karena lemah (pada saat itu, di Madinah yang tinggal hanyalah orang-orang yang disebut munafik dan orang-orang yang udzur karena amat lemah, seperti orang yang tidak dapat berjalan, buta, sakit dan sebagainya). (Menurut keterangan teman-teman) Rasulullah saw. tidak pernah menyebut-nyebut saya, hingga sampai ke Tabuk. Sesampainya di Tabuk beliau bertanya: “Apa sebenarnya yang dikerjakan oleh Ka’ab bin Malik?” salah seorang dari Bani Salimah menjawab: “Ya, Rasulallah, dia terhalang oleh selendangnya dan sedang memandang kedua pinggangnya (sedang bersenang-senang memakai pakaiannya).” Tetapi Mu’adz bin Jabal menghardiknya: “Betapa buruk perkataanmu, Demi Allah, yang kami ketahui dari Ka’ab hanyalah kebaikan.” Rasulullah saw. pun diam, pada saat itulah Rasulullah saw. melihat seorang laki-laki berpakaian putih sedang berjalan di kejauhan. Rasulullah saw. berasabda: “Mudah-mudahan itu adalah Abu Khaitsamah.” Ternyata benar, orang itu adalah Abu Khaitsamah al-Anshariy. Dialah yang bersedekah segantang kurma, ketika diolok-olok oleh munafikun.
Ka’ab meneruskan ceritanya: “Tatkala saya mendengar, bahwa Rasulullah saw. berada dalam perjalanan pulang dari Tabuk, maka kesusahanpun mulai menyelimuti saya. Saya mulai mereka-reka, alasan apa yang bisa menyelamatkan saya dari Rasulullah saw.. Saya juga meminta bantuan keluargaku mencari alasan dan jalan keluar yang baik.
Tetapi ketika mendengar bahwa Rasulullah saw. sudah dekat, hilanglah segala macam kebohongan yang saya siapkan, hingga saya yakin bahwa tidak ada alasan yang bisa menyelamatkan dari Rasulullah saw., selamanya. Karena itu saya akan mengatakan yang sebenarnya. Keesokan harinya, Rasulullah saw. tiba. Biasanya, kalau beliau datang dari bepergian, yang beliau tuju pertama kali adalah masjid. Beliau mengerjakan shalat dua rakaat lalu duduk menunggu kaum muslimin melaporkan sesuatu dan sebagainya.
Maka berdatanganlah orang-orang yang tidak ikut perang Tabuk, menemui beliau. Mereka mengemukakan berbagai alasan kepada Rasulullah saw. disertai dengan sumpah. Mereka yang tidak ikut perang Tabuk ada 80 orang lebih. Rasulullah saw. menerima mereka, beliau memperkenankan memperbaharui baiat dan memohonkan ampunan bagi mereka, sedangkan batin mereka, beliau serahkan kepada Allah Ta’ala. Tibalah giliran saya menghadap. Ketika saya mengucapkan salam beliau tersenyum sinis, kemudian bersabda: “Kemarilah.” Ka’ab berjalan mendekat dan duduk di hadapan beliau. Lalu beliau mulai bertanya: “Apa yang menyebabkan engkau tidak ikut berangkat? Bukankah engkau telah membeli kendaraan?” saya menjawab: “Ya, Rasulullah, demi Allah, andaikan aku duduk di hadapan orang sekalinmu, saya yakin akan dapat bebas dari kemarahannya dengan mengemukakan alasan yang bisa diterima. Sungguh, saya telah dikaruniai kepandaian bicara. Namun demi Allah aku benar-benar yakin, seumpama hari ini aku berkata bohong dan engkau menerimanya, pasti sebentar lagi Allah akan menggerakkan hatimu untuk marah kepada saya. Sebaliknya jika saya berkata benar, yang membuatmu marah kepadaku, maka saya dapat mengharapkan penyelesaian yang baik dari Allah. Demi Allah saya tidak mempunyai udzur. Demi Allah diriku sama sekali tidak merasa lebih kuat dan lebih mudah daripada ketika aku tidak mengikutimu ke Tabuk. Sekarang ini, saya merasa cukup segalanya.”
Rasulullah saw. bersabda: “Orang ini (Ka’ab bin Malik) telah berkata benar. Berdirilah. Tunggulah keputusan Allah terhadap dirimu.” Aku pun berdiri. Beberapa orang dari bani Salimah menghampiri saya. Mereka berkata kepada saya: “Demi Allah, kami tidak pernah melihat engkau melakukan dosa sebelum ini. Engkau benar-benar tidak mampu mengemukakan alasan kepada Rasulullah saw. seperti yang dilakukan oleh orang-orang lain yang tidak ikut ke Tabuk. Mestinya cukuplah bagimu, jika Rasulullah saw. memintakan ampun untukmu.”
Ka’ab melanjutkan: “Demi Allah, orang-orang bani Salimah itu terus menerus menyalahkan diriku, sehingga ingin rasanya saya kembali kepada Rasulullah saw. untuk meralat perkataanku. Tetapi kemudian aku bertanya kepada orang-orang bani Salimah itu: “Adakah orang lain yang mengalami seperti yang saya alami?” mereka menjawab: “Ya, memang ada. Ada dua orang yang mengatakan seperti yang engkau katakan dan mereka mendapatkan jawaban sama seperti jawaban yang engkau terima.” Saya bertanya: “Siapa mereka?” mereka menjawab: “Murarah bin Rabi’ah al-Amiriy dan Hilal bin Umayyah al-Waqifiy.”
Dua orang laki-laki shalih itu telah mengikuti perang Badar dan dapat kuikuti karena akhlaknya. Sejak saat itu, Rasulullah saw. melarang kaum Muslimin berbicara dengan kami bertiga. Sejak itu pula mereka telah berubah sikap dan menjauhi kami, sehingga bumi terasa asing bagiku, seolah-olah bumi yang saya pijak ini bukanlah bumi yang sudah kukenal. Keadaan seperti ini berlangsung selama lima puluh hari. Dua orang temanku (Murarah dan Hilal) menyembunyikan diri dan diam di rumahnya masing-masing, sambil tiada henti-hentinya menangis memohon ampun kepada Allah karena tidak ikut perang.
Di antara kami bertiga, akulah yang paling muda dan paling kuat. Aku tetap keluar rumah untuk mengikuti shalat jamaah bersama kaum muslimin, juga pergi ke pasar, tetapi tidak seorangpun mau diajak bicara. Saya pergi menghadap Rasulullah saw. untuk sekedar mengucapkan salam kepada beliau di tempat duduk beliau sesudah shalat. Tetapi hati ini berkata: “Apakah Rasulullah saw. akan menggerakkan bibir beliau untuk menjawab salam, ataukah tidak?” kemudian saya mengerjakan shalat berdekatan dengan beliau, sesekali saya melirik beliau. Apabila menghadap ke shalat, beliau memandangiku, kalau menengok ke arah beliau, beliau berpaling dari saya.
Hal itu terjadi berturut-turut sampai suatu hari saya berjalan-jalan, lalu melompati pagar pekarangan Abu Qatadah. Dia adalah saudara sepupu dan orang yang paling aku sayangi. Kuucapkan salam kepadanya, demi Allah, bukankah engkau tahu bahwa aku ini cinta kepada Allah dan Rasul-Nya?” Abu Qatadah diam saja. Sehingga kuulangi pertanyaanku, dia tetap diam, sesudah saya ulangi pertanyaan saya sekali lagi, berulah ia menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Seketika itu mengalirlah air mata sya dan saya pun pulang.
Pada suatu hari saya sedang berjalan-jalan di kota Madinah, tiba-tiba ada seorang petani beragama Kristen dari Syam yang datang ke Madinah untuk menjual bahan makanan. Petani itu bertanya (kepada orang-orang yang berada di pasar): “Siapakah yang dapat menunjukkan diriku kepada Ka’ab bin Malik?” orang-orang memberi isyarat ke arahku. Petani itu mendatangiku dan menyerahkan sepucuk surat kepadaku, dari raja Ghassan. Setelah saya baca ternyata isinya sebagai berikut: “Amma ba’du. Sungguh, kami mendengar bahwa temanmu (Nabi Muhammad saw.) mendiamkanmu, sedangkan Allah sendiri tidak menjadikanmu untuk tinggal di tempat hina san tersia-sia. Karena itu datanglah ke negeri kami. Kami pasti menolongmu.” Saat membaca surat itu aku berfikir: “Ini juga merupakan cobaan.” Kemudian saya bakar surat itu di dapur.
Selang empat puluh hari, tiba-tiba seorang utusan Rasulullah saw. datang kepadaku dan berkata: “Rasulullah saw. memerintahkanmu untuk menjauhi istrimu.” Ka’ab bertanya: “Apakah saya harus menceraikannya, atau bagaimana?” utusan itu menjawab: “Tidak, tetapi hindarilah dia, jangan dekat-dekat kepadanya.”
Rasulullah saw. juga mengirimkan utusan kepada kedua orang temanku (Murarah dan Hilal), yang dimaksudnya sama dengan yang kuterima. Saya berkata kepada istriku: “Pulanglah kepada keluargamu. Sementara menetaplah engkau di sana, sampai keputusan Allah datang.
Suatu saat istri Hilal bin Umayyah menghadap Rasulullah saw. memohon kepada beliau: “Ya Rasulallah, suamiku, Hilal bin Umayyah, adalah seorang tua sebatangkara dan tidak mempunyai pelayan. Apakah engkau keberatan bila aku melayaninya?” Rasulullah menjawab: “Tidak, tetapi yang saya maksud jangan sampai ia dekat-dekat kepadamu.” Istri Hilal pun berkata: “Demi Allah, Hilal sudah tidak lagi mempunyai keinginan sedikitpun (gairah) terhadapku. Dan demi Allah, tak henti-hentinya dia menangis sejak engkau melarang muslimin berbicara dengannya, sampai hari ini.”
Sebagian keluarga berkata kepada saya: “Hai Ka’ab. Kalau saja engkau meminta izin kepada Rasulullah untuk istrimu tentu itu lebih baik, sebagaimana istri Hilal bin Umayyah untuk melayani suaminya.” Saya menjawab: “Saya tidak akan meminta izin kepada Rasulullah saw. apabila saya meminta izin kepada beliau, sedangkan saya seorang yang masih muda.”
Saya lalui kehidupan tanpa istri itu selama sepuluh hari (menunggu keputusan Allah). Genaplah sudah bagi kami, lima puluh hari sejak ada larangan berbicara dengan kami. Kemudian pada hari ke lima puluh, di bagian atas rumahku pada saat aku sedang duduk ketika shalat subuh, Allah menyebut-nyebut tentang kami. Di saat itu pula hatiku sangat resah, bumi yang sedemikian luas seakan sempit bagiku. Kemudian aku mendengar suara orang yang berteriak-teriak naik ke atas Sal’i. “Hai Ka’ab bin Malik, bergembiralah.” Serta merta aku menjatuhkan diri bersujud syukur dan aku tahu, bahwa saya dapat penyelesaian.
Rasulullah saw. memberitahu kepada kaum Muslimin, bahwa Allah Yang Mahaagung dan Mahatinggi telah menerima tobat kami bertiga. Kabar itu disampaikan seusai beliau mengerjakan shalat subuh. Maka kaum Muslimin berdatangan mengucapkan selamat dan ikut bergembira, juga kepada kedua orang teman (Murarah dan Hilal). Mereka ada yang datang berkuda, ada juga penduduk Aslam yang berjalan kaki dan ada pula yang naik gunung berteriak mengucapkan selamat, sehingga suaranya lebih cepat dari larinya kuda.
Ketika saya mendengar ucapan selamat dari orang pertama dan datang kepada saya, seketika itu juga saya melepaskan pakaian dan saya kenakan kepadanya. Padahal demi Allah, waktu itu saya tidak memiliki pakaian. Setelah itu saya meminjam pakaian dan berangkat untuk menghadap Rasulullah saw. sementara kaum Muslmini menyambut, mengucapkan selamat atas diterimanya tobatku. Mereka berkata kepada saya: “Selamat atas pengampunan Allah kepadamu.”
Demikianlah, sepanjang jalan kaum muslimin memberikan selamat. Sesampainya di masjid, ternyata Rasulullah saw. sedang duduk dikelilingi oleh para shahabat. Melihat kedatanganku, shahabat Thalhah bin Ubaidillah segera berdiri menyongsongku, menjabat tangan saya dan memberi ucapan selamat. Demi Allah. Tak seorangpun di antara para shahabat Muhajirin yang berdiri, kecuali dia. Karena itulah Ka’ab tidak bisa melupakan kebaikannya.
Ka’ab meneruskan ceritanya: “Tatkala saya mengucapkan salam kepada Rasulullah saw. beliau menyambut saya dengan wajah yang berseri-seri dan berkata: “Bergembiralah karena hari ini merupakan hari terbaik bagimu, sejak kamu dilahirkan ibumu.” Aku bertanya: “Wahai Rasulullah, apakah itu darimu sendiri atau dari sisi Allah?” Beliau menjawab: “Dari Allah Yang Maha Agung dan Mahatinggi.”
Jika merasa senang, wajah Rasulullah saw. bersinar terang, seolah-olah merupakan potongan rembulan. Melalui wajahnya, kami mengetahui bahwa Rasulullah saw. sedang senang hatinya. Ketika aku duduk menghadap beliau, aku berkata: “Ya Rasulullah, sungguh, termasuk tobat saya (sebagai pernyataan rasa syukurku) aku hendak menyerahkan harta bendaku sebagai sedekah untuk (mendapatkan ridla) Allah dan Rasul-Nya.” Rasulullah saw. bersabda: “Simpanlah sebagian harta-bendamu (jangan engkau serahkan seluruhnya). Itu lebih baik.” Kemudian saya menjawab: “Saya masih mempunyai tanah yang menjadi bagian saya hasil rampasan perang di Khaibar.” Lebih lanjut saya berkata: “Ya Rasulallah, sesungguhnya, Allah telah menyelamatkanku karena kejujuran. Dan saya nyatakan, bahwa termasuk tobatku (sebagai pernyataan rasa syukur kepada Allah) saya tidak akan berbicara selain yang benar, selama hidup saya.” Demi Allah, saya tidak pernah melihat seorangpun di antara kaum muslimin yang diuji Allah Ta’ala untuk berkata jujur, lebih baik dari saya semenjak berjanji kepada Rasulullah saw. hingga hari ini, aku tidak pernah sengaja berbohong. Dan saya berharap semoga Allah menjagaku dalam sisa hidupku.
Kemudian Allah menurunkan ayat 117-119: “Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang muhajirin dan orang-orang anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka, dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah menjadi sempit bagi mereka, Padahal bumi itu Luas dan jiwa merekapun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya. Sesungguhnya Allah-lah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. Hai orang-orang yang beriman bertakwalah kepada Allah, dan hendaklah kamu bersama orang-orang yang benar.”
Menurut Ka’ab, demi Allah. Belum pernah Allah memberikan nikmat, sesudah Dia memberi saya petunjuk memeluk Islam yang melebihi kejujuran saya kepada Rasulullah saw. sebab, andaikata saya berbohong kepada beliau, pastilah bencana menimpa saya (rusak agamaku) sebagaimana orang-orang munafik yang berdusta kepada beliau. Sungguh, Allah telah berfirman untuk orang-orang yang mendustai Rasulullah saw. dan mengecam betapa jelek orang tersebut. Sebagaimana firman Allah dalam surah at Taubah ayat 95 dan 96: “kelak mereka akan bersumpah kepadamu dengan nama Allah, apabila kamu kembali kepada mereka, supaya kamu berpaling dari mereka. Maka berpalinglah dari mereka; karena Sesungguhnya mereka itu adalah najis dan tempat mereka Jahannam; sebagai Balasan atas apa yang telah mereka kerjakan. 96. mereka akan bersumpah kepadamu, agar kamu ridha kepada mereka. tetapi jika Sekiranya kamu ridha kepada mereka, Sesungguhnya Allah tidak ridha kepada orang-orang yang Fasik itu.”
Lebih lanjut Ka’ab berkata: “Urusan kami bertiga ditunda dari urusan orang-orang munafik, ketika mereka bersumpah kepada Rasulullah saw. lalu mereka menerima baiat mereka dan meminta ampun kepada Allah swt. tetapi masalah kami ditunda Rasulullah saw. sampai Allah memutuskan menerima tobat kami. Sebagaimana firman Allah: “Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan tobatnya.” (at Taubah: 118)
Firman Allah tersebut menurut Ka’ab, bukan berarti kami bertiga ketinggalan dari perang Tabuk, tetapi mempunyai arti bahwa persoalan kami bertiga diundur dari orang munafik yang bersumpah kepada Rasulullah saw. dan menyampaikan bermacam-macam alasan yang kemudian diterima oleh Rasulullah saw.” (HR Bukhari dan Muslm)
Dalam salah satu riwayat disebutkan: “Nabi saw. pada waktu perang Tabuk keluar pada hari Kamis; dan memang sudah menjadi kesukaan beliau untuk bepergian pada hari kamis.”
Dalam salah satu riwayat disebutkan: “Biasanya beliau kalau datang dari bepergian pada waktu pagi hari, dan bila datang biasanya langsung ke Masjid dan shalat dua rakaat kemudian duduk di dalamnya.”

sumber: Riyadhush Shalihin; Imam Nawawi, dikutip dari https://alquranmulia.wordpress.com/tag/kisah-tobat-abdullah-bin-kaab-bin-malik/

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Kata Ganti dalam Bahasa Arab [Kata Ganti untuk Allah]

بِسْمِ اللّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ Kalau dalam Bahasa Indonesia kita mengenal kata ganti yang bebas dari orientasi gender, seperti saya, kamu, dia, mereka, dst. Dalam Bahasa Inggris kita belajar kata ganti he untuk laki-laki, she untuk perempuan, dan it yang netral gender. Nah, dalam Bahasa Arab ada dua gender, yaitu mudzakkar (yang menunjukkan laki-laki) dan muannats (yang menunjukkan perempuan). Kalau dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa inggris dikenal kata ganti tunggal dan jamak, dalam Bahasa Arab dikenal kata ganti tunggal (mufrod), ganda (mutsanna), dan jamak. Jadi, jika dikumpulkan ada 12 kata ganti dalam Bahasa arab, yaitu: 1. هُوَ (Dia [laki-laki]): untuk orang ketiga (yang dibicarakan), tunggal (mufrad), mudzakkar. 2. هُمَا (Mereka berdua [laki-laki/perempuan]): untuk orang ketiga, ganda (mutsanna), baik mudzakkar maupun muannats. 3. هُمْ (Mereka [banyak laki-laki]): untuk orang ketiga, jamak, mudzakkar. 4. هِيَ (Dia [perempuan]): untuk orang ketiga, mufrad, muannats. 5. هُ...

Kata Benda dan Kata Kerja dalam Bahasa Arab

Dalam Bahasa Arab seseorang/sesuatu dapat dideskripsikan dalam bentuk kata kerja/verb (fi'il/فعل) atau kata benda/noun (isim/اسم). Dalam bahasa arab, dikenal 2 bentuk tenses: 1. fi'il madhi, kata kerja dalam bentuk lampau, past tenses, Yang menggambarkan sesuatu yang sudah terjadi, dan 2. Fi'il mudhori, Present-future tense, menggambarkan sesuatu yang belum selesai, menggambarkan kondisi sekarang dan yang akan datang. Sebagai contoh, ketika dikatakan اضرب (adribu) berarti I am hitting, ini adalah contoh fi'il mudhari يضرب + kata ganti untuk انا (saya) yang bermakna saya sekarang sedang memukul dan masih memukul (bentuk present-future tense). Ketika sudah selesai maka berubah menjadi ضربت (dhorobtu) yg merupakan bentuk fi'il madhi ضرب + kata ganti انا yg artinya saya memukul dan kejadiannya sudah berlalu (bentuk past tense). Seseorang/sesuatu dapat dideskripsikan dalam kata kerja atau kata benda. Bentuk Kata benda (ism faa'il) mengindikasikan bahwa subje...

Teori Machiavelli

"Harus diingat bahwa manusia harus dicintai atau dihancurkan; mereka akan menuntut balas akan luka ringan mereka, namun mereka tidak akan dapat melakukan hal serupa apabila mereka terluka parah. Oleh karena itu, luka yang kita sebabkan haruslah sebesar-besarnya sehingga kita tidak harus takut akan balasan mereka." " Membunuh sahabat seperjuangan, mengkhianati teman-teman sendiri, tidak memiliki iman, tidak memiliki rasa kasihan dan tidak memiliki agama; kesemua hal ini tidak dapat digolongkan tindakan yang bermoral, namun metode-metode ini dapat memberikan kekuatan, namun bukan kemuliaan" "Manusia tidak segan2 (lebih) membela orang yang mereka takuti dibanding yang mereka cintai. Karena cinta diikat oleh rantai kewajiban.. pada saat manusia telah mendapatkan apa yang diinginkannya, rantai tersebut akan putus. (sebaliknya) rasa takut tidak akan pernah gagal..." "orang-orang besar tidak mencapai kebesaran mereka karena keuntungan, ...