Pagi ini entah kenapa bangun tidur sangat tidak bersemangat,
mungkin efek monthly syndrome nya perempuan #cumacarialasansaja -_-
Berangkat untuk beraktivitas biasanya setengah jam sudah
sampai, tapi tadi satu jam baru sampai (bad mood akut ini -_-), kalau jalan
saja sudah selambat itu jadi inget pertanyaan teman, “yu kamu itu apa-apa lama,
apa yg cepet?” terus saya jawab sekenanya, “bawa motor” kalau sudah begini apa
lagi yang bisa dibanggakan? -_-
Sambal nunggu dokumen sppl diperiksa, scroll grup terus baca
cerita tentang pengungsi Sudan yang mendarat di Jakarta. Reportasenya langsung didapat
dari teman seperguruan. Tik tok tik tok tik tok isi kepala ini rasanya ga
karuan. Entah harus menanggapi bagaimana. Rasanya threshold empati makin
menurun. Kalau dulu mata ini bisa sembam karena melihat video perlawanan rakyat Palestina atas penjajahan Israel, sekarang hanya bisa memohon ampun kepada
Allah atas ketidakberdayaan pribadi (apa sekarang jiwa ini sudah tidak lagi
marah ketika kehormatan islam dan umatnya dinodai? Astagfirullahaladzim).
Avgustin pernah bilang, kematian seorang manusia adalah tragedi, sedangkan
kematian banyak orang hanyalah angka statistik. Di wilayah konflik seperti
afganistan, bahkan ada lelucon ketika seseorang datang ke pasar menawar harga
kepala kambing,
“ini berapa?”
“50 Afgani”
“ah kemahalan, 20 afgani”
“ini kepala kambing tau, bukan kepala manusia!”
Betapa murahnya harga manusia sampai-sampai muncul sebuah
ungkapan, “Di sini semua mahal. Yang murah cuma satu: nyawa manusia”
Bayangkan jika kita ada di sebuah negeri yang perang terus
berkecamuk di dalamnya. Pergi keluar rumah tidak ada yang menjamin kita pulang
masih dalam keadaan hidup. Padang pasir terbentang, air begitu sulit, hujan tak
juga turun, pekerjaan tak ada, tanaman tak tumbuh, ternak pun hanya tersisa
tulang belulang. Apalagi cita-cita yang bisa diimpikan selain perut kenyang
esok hari?
Lalu kita yang bisa menghirup udara kebebasan, mampu
bercita-cita lebih dari sekedar perut kenyang di esok hari, bisa berbuat apa?
Tiba-tiba teringat dengan kony project 2012 yang berhasil
menarik perhatian 1 juta viewers di hari pertama film ini diunggah di youtube
dan hanya butuh 6 hari untuk menjangkau 100 juta viewers. Kony project adalah sebuah
film berdurasi 30 menit yang menjelaskan mengapa dunia perlu menangkap dan
mengadili Joseph Kony, seorang panglima perang Afrika tengah yang telah
menculik puluhan ribu anak-anak menjadikan mereka tentaranya dan budak seks
nya. Melalui lembaga non profit invisible children, mereka memobilisasi
kesadaran internasional untuk menghentikan konflik yang dipicu LRA (Lord’s
Resistance Army) di bawah komando Joseph Kony.
Apa yang bisa kita lakukan sebagai individu yang tidak punya
kuasa apa-apa? Dari kony project saya belajar tentang satu hal, kita rakyat
sipil sering melupakan kekuatan kita sebagai pihak yang punya kuasa untuk
melakukan pressure politik. Rakyat sipil punya kuasa untuk mewujudkan
perubahan. Ustadz Taqiyuddin AnNabhani dalam kitabnya, Konsepsi
Politik Hizbut Tahrir, menyebutkan, seorang individu meskipun tetap sendirian
dan tidak memiliki wewenang untuk menetapkan maupun menerapkan kebijakan,
tetapi jika ia melakukan aktivitas politik, memahami politik internasional, bukan
semata-mata untuk mendapatkan kenikmatan intelektual semata, tetapi untuk
mengatur urusan-urusan dunia serta memikirkan metode yang mampu mempengaruhi
dunia, dan berambisi untuk menerapkan kebijakan tersebut atau termasuk orang
yang mengawasi orang-orang yang menetapkan atau menerapkan kebijakan,
sesungguhnya dia akan mampu berpengaruh terhadap dunia. Hal ini dimungkinkan untuk
terjadi karena negara tempat dia berada akan dipengaruhi oleh orang-orang
semisal dia, atau dia akan bergerak bersama orang-orang semisal dia untuk
menjadikan negaranya berpengaruh dalam politik internasional dan konstelasi
internasional dengan jalan membentuk individu-individu yang memiliki kesadaran
politik dan dapat memahami aktivitas-aktivitas politik yang terjadi di dunia,
terlebih lagi aktivitas-aktivitas politik negara-negara adidaya.
Kembali ke masalah pengungsi. Cerita kawan tentang pengungsi pagi ini membuat saya berpikir, arus pengungsi dari wilayah-wilayah konflik sampai kapanpun tidak akan berakhir kecuali perdamaian menjadi realita. Perang, konflik berdarah, pembantaian manusia akan selalu menjadi alasan migrasi manusia untuk mencari suaka. Sama seperti kisah pengungsi Sudan yang diceritakan teman saya pagi tadi. Australia, itulah negeri harapan yang mereka impikan. Berharap mereka bisa memulai kehidupan baru mereka. Menjadi imigran ilegal bukannya tanpa resiko. Mereka harus menjual aset yang mereka punya dan menukarnya dengan ketidakpastian, jika mereka beruntung mereka akan sampai ke tanah harapan, jika tidak mereka akan dideportasi kembali ke negerinya, kembali bercengkrama dengan konflik yang justru ingin mereka hindari.
Dan kenapa negeri mereka terus mengalami konflik? Seketika teringat buku lama berjudul Confession of Economic Hitman, di buku itu John Perkins berkisah tentang upaya mewujudkan sebuah imperium global melalui kekuatan korporatokrasi dan ia mengisahkan upaya nya direalisasikan melalui cara ekonomi dan militer sebagai jalan terakhir. Maka, coba perhatikan apa yang terjadi di dunia, negeri-negeri "yang aman" cenderung menjaga kepentingan politiknya dengan Amerika. Jika ada negeri yang mencoba untuk menyaingi dominasi negara adidaya bersiaplah untuk dimasukkan ke dalam daftar poros setan versi mereka. Lalu kapan konflik ini akan berakhir? Saya pikir ia akan berakhir saat sebuah imperium menemukan titik equilibrium nya. Entah itu adalah imperium berdasarkan Kapitalisme dengan korporatokrasinya, Sosialisme dengan tangan besinya, ataukah Islam yang saat ini bersemayam dalam dada-dada penganutnya.
Mengingat kembali pesan yang disampaikan ustadz Taqiyuddin anNabhani, sekecil apa pun daya yang kita pikir kita punya, kita ini adalah bagian dari semesta, aktivitas yang kita pilih akan berpengaruh pada dunia, lalu saat ini kita sedang mengambil peran apa?

Komentar
Posting Komentar