Apa pula ini maksud judulnya? :D
Saya coba mulai jelaskan dari judul “Boku no Ita Jikan” nya yaa .. sebenarnya ini adalah judul dorama jepang yang kalau diartikan dalam bahasa indonesia berarti “hingga waktu terakhir dari hidup saya”. Drama ini masuk genre human drama. Alur cerita yang dekat dengan kehidupan nyata kita sehari-hari. Berkisah tentang perjalanan hidup seorang laki-laki bernama Takuto yang tidak suka “bermain peran” terus menerus dalam hidupnya. Sehari-hari, dia selalu berusaha menjadi sosok yang diidamkan oleh lingkungannya. Dia berpura-pura menyukai apa yg tidak dia suka. Berbicara sesuai dengan ekspektasi orang lain. Kamuflase.. ya .. dia tidak suka dengan itu. Hingga pada suatu hari, dokter memvonisnya menderita ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis). ALS adalah penyakit neuromuskular yang progressif. Pada penderita ALS terjadi degenerasi yang progressif terhadap sel syaraf motorik di otak dan tulang belakang. Saat syaraf motorik tidak lagi mampu mengirim impuls ke otot, maka otot mulai mengalami atropi menyebabkan kelemahan otot. Hingga pada akhirnya penderita pun harus menyiapkan dirinya menggunakan ventilator. Karena penyakitnya bahkan akan merenggut kemampuannya untuk bernapas. Lalu dengan keadaannya yang seperti ini, apakah dia perlu berjuang untuk tetap bertahan hidup? Masihkah berarti hidupnya dengan keadaannya yg terus memburuk?
Alur ceritanya apik sekali sarat dengan pelajaran kehidupan.. tapi.. kalau ditanya apa saya suka filmnya? saya jawab, “tidak”.. Tempo ceritanya terlalu lambat.. Dengan tempo cerita yang seperti ini bikin males buat ngikutinnya.. hehe.. tapi berhubung kakak aku bilang rame, aku coba nonton episode 1 dan episode akhirnya.. dan entah kenapa pikiranku jadi nyangkut kemana-mana :p Mungkin juga karena sebelum ini, saya pernah buat tulisan Growing Old and Deteriorating Health, gara-gara nonton film ini saya jadi punya cara pandang lain tentang keadaan kritis pada seseorang.
Saya mau tunjukkan cuplikan adegan yg walaupun tanpa menonton filmnya secara utuh kamu bisa dapet alur ceritanya
adegan ini cukup sukses bikin saya mewek T.T <-- lebay!! hehe
I'm sure everyone has thought of this
at least once...
'What is the purpose of my life?'
…
Before I became sick
I spent my everyday life aimlessly...
without having any specific goals.
I didn't have an identity.
I even hid how I really felt
from my family.
I didn't like myself
for always playing a character.
…
At the end of my senior year in college, my classmate killed himself.
I don't know the reason
but he had a hard time finding a job. *catatan: kakak kelasnya ini sudah melamar sampai 100 pekerjaan dan ga ada satupun perusahaan yg nerima dia*
I was incredibly shocked but...
I didn't feel his 'death' related to my own life.
Because I thought my life would continue as usual.
...
It was in my first year working for a company...
when I was informed that I had a disease.
It's a disease called ALS that causes muscle atrophy.
At first, I felt a strange sensation in my left hand.
I had trouble holding objects with it.
Then one thing after another, I lost all strength in my left hand...
Then I couldn't raise my left arm,
and then I couldn't move my left leg.
My right hand still moves a little...
but I cannot raise my arm.
My right leg doesn't move
so I can't walk or stand up.
Someday I won't be able to swallow things or even breathe.
If I can't breathe, I will die.
So I will need a machine called a ventilator to support my breathing.
But with a ventilator, I won't be able to speak.
Although I won't speak, I will be able to convey my feelings by...
typing in a computer by using a sensor, as long as I can move one part of my body.
If I can't move any of my muscles, I might not be able to communicate.
I'm not sure if I will be able to feel that I'm alive.
Once I'm on a ventilator, I can't remove it.
…
I have prepared myself many times
since I got this disease.
…When I decided to tell people around me about the disease...
…When I decided to live in the present by accepting the disease...
…When I couldn't use my left arm completely...
…When I couldn't walk...
…When I couldn't work anymore...
This disease took so many things away from me.
I was scared when I looked at the things that were taken away.
So all I could do was focus on what's possible at each moment.
It was a cycle of finding a goal … and losing it.
Currently my goal is to enter medical school.
I don't know how many years it will take to pass the exams...
or how long I can keep pursuing that.
But this disease can't take away my
willingness to enter medical school.
In the future, even when all my goals are taken away from me...
the fact that I live pursing my goal also can't be taken away.
And this disease didn't only give me suffering and despair.
I've learned about the warmth of people.
I can be open with my family and tell them what I want now.
I can believe in love now.
I like myself a little more now.
It made me realize the happiness that I have now.
That I can speak like this.
…To be able to walk...
…To run...
…To eat...
…To laugh...
…To touch each other...
…To feel the wind...
…To be enveloped in sunshine...
…To live at this moment...
That I was born into this world.
Now I have to prepare myself again.
Whether or not
I am going to be on a ventilator.
I am scared to die,
but I am scared to live.
It's not easy to prepare myself to die or live.
The people around me say that
all they want from me is to keep living.
Will I be able to keep living
just for my family and loved ones?
Will I be able to keep living
when I can't fully communicate?
I have no clue at all.
One thing I know for sure is...
that I am enveloped by love and warmth no matter what condition I'm in.
My family...
My friends...
My senior...
My doctor and the hospital staff...
The care workers...
And...
My girlfriend who always stays next to me.
Will I be able to live only with love and warmth?
Will I be able to feel the meaning of life only with them?
And not just that,
but I can't do anything...
Instead, I create more work for people by living.
Using the toilet, bathing, eating, sucking out phlegm...
Is it okay for me to live like that?
I've been thinking about that.
Maybe people around me will find a purpose in life if I am alive?
Maybe I can tell society the meaning of life just by the fact that I'm alive?
Then what do I need to do to be myself when all I can do is to live?
When that happens...
What will support me is
the time I've lived until then... The hours of my life.
I've prepared myself.
I've prepared myself to live.
I will do my best until the time comes in the future.
“Bertahan hidup untuk membuat orang lain memiliki arti dalam hidup.” Ini kesimpulan bebas yang saya buat si.. mungkin yg lain bisa menangkap pesan yg lebih baik daripada saya :D
Seperti yang saya bilang.. gara2 nonton episode terakhir film ini pikiran saya jadi nyambung kemana-mana.
Pertama, saya jadi sadar.. di luar sana ada orang yang sedang berjuang mati-matian untuk tetap hidup.. satu kenikmatan yang seringkali dilupakan oleh mereka orang-orang sehat. Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya melihat adegan semacam ini, dalam kehidupan nyata tidak sedikit saya temukan realita seperti ini, meskipun dengan penyakit yang tidak separah ALS. Mereka adalah orang-orang dengan disabilitas yang seringkali menjadi marginal karena “ketidaknormalan” mereka. Atau orang-orang tua yang secara alami kehilangan fungsi normal tubuhnya karena begitulah sunatullah. Walaupun ada juga, orang-orang yang karena “kekurangannya” justru mengutuk hidup, menyalahkan Tuhan, dan berharap hidupnya lebih baik berakhir saja. Maka disinilah letak titik krusial sebuah perspektif akan hidup. Tidak peduli seseorang percaya Tuhan atau tidak, percaya agama atau tidak.. orang-orang dengan determinasi, ia selalu punya perspektif positif akan apa pun yang ada di hadapannya. Dan determinasi ini lah yang membuatnya tetap bertahan dan tidak putus asa untuk mencapai apa-apa yang telah ia targetkan.
Kedua, semua orang pasti akan berbenturan dengan satu titik dimana dia akan bertanya tentang apa tujuan hidupnya, untuk apa dia tetap bertahan hidup, what makes life worth living? semua orang.. tanpa kecuali. Ada orang-orang yang benar-benar mencari jawabnya, ada orang-orang yang terlarut dengan kesibukan dan melupakannya, ada yang mengalihkan jawabannya dengan pencapaian impian-impiannya semata, dan ada pula orang-orang yg frustasi hingga akhirnya lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya. Lalu pikiran saya pun teringat pada kajian tafsir salah satu surat dalam juz amma, surat al-ashr. Ketika waktu menjadi saksi atas apa-apa yang telah dilakukan oleh manusia, apa-apa yang dibanggakan manusia, apa-apa yang dikejar oleh manusia, dari masa ke masa. Coba perhatikan sejarah yang terus berulang. Rasa benci, fitnah, dendam, pengejaran manusia terhadap kedudukan, harta, kekuasaan, popularitas, pembunuhan, serta pengusiran terhadap orang-orang yang menyeru kebenaran. What makes life worth living? Membuat sesuatu? Membangun hubungan baik dengan sesama? membantu satu sama lain? berupaya mengerjar impian? bermain? Improving knowledge? menjadi inspirasi untuk orang lain? bermanfaat bagi sesama? apa? apa? APA?! Semakin dipikir semakin bikin pusing, ga aneh kalau anti depresan laku,, ga aneh kalau setiap tahunnya hampir satu juta orang mati karena bunuh diri.
Berkutat pada kefanaan seperti tangan yang hendak menggenggam air, saking liquidnya tidak ada yg tersisa di tanganmu kecuali hanya sedikit. Maka satu hal yang sangat saya syukuri adalah nikmat berislam. Ketika Tuhanmu yang maha pemurah berbicara denganmu melalui alQuran. Dia tunjukkan determinasi yang menenangkan hatimu, mengobati segala kegundahanmu, meneguhkanmu, menghiburmu, membuka pintu-pintu harapan, bahkan membimbingmu menjadi sebaik-baik manusia.
Ketiga, terkait perkembangan teknologi peralatan-peralatan life saving. Di episode terakhir film ini, ada seorang anak kecil mendatangi Takuto dan menunjukkan perkembangan teknologi di bidang medik. Teknologi berupa alat bantu pergerakan yang digerakkan oleh sinyal otak. Belum ada aplikasi klinisnya, tapi teknologinya sedang dikembangkan. Lalu saya pun jadi teringat dengan salah satu isi kuliah dulu saat pak dosen bercerita tentang proposal pembangunan industri bahan baku farmasi di Indonesia yang kandas karena dianggap tidak lebih menguntungkan dibandingkan impor *saat diajukan kurs dollar tidak setinggi seperti sekarang* ataupun pembangunan industri bahan baku yang payback periode nya terlalu lama.. tidak menguntungkan secara hitung-hitungan bisnis *padahal sang dosen ditawari mensuplai bahan baku farmasi seASEAN*. Saya pun jadi berpikir, mungkinkah teknologi tinggi di dunia kesehatan di Indonesia bisa dikembangkan? Ketika obat-obatan yang pasarnya sudah jelas saja masih dianggap tidak menguntungkan. Lalu bagaimana dengan robotika? alat bantu bagi mereka penyandang disabilitas? Pasarnya lebih sedikit lagi.. dan jangan tanya kemampuan ekonomi mereka.. Apakah kematian saja yang diharapkan? Sebagaimana Hitler dahulu hanya membiarkan hidup manusia-manusia dengan karakter unggulnya dan menghabisi “semua manusia cacat” agar keturunan Arya menjadi manusia-manusia terbaik di dunia?? Sekalipun saya juga meragukan cerita pembantaian yg dilakukan Hitler *berhubung ceritanya simpang siur* tapi satu hal yang pasti hari ini.. bahwa nyawa, quality of life semua ada label harganya -_-
Saya coba mulai jelaskan dari judul “Boku no Ita Jikan” nya yaa .. sebenarnya ini adalah judul dorama jepang yang kalau diartikan dalam bahasa indonesia berarti “hingga waktu terakhir dari hidup saya”. Drama ini masuk genre human drama. Alur cerita yang dekat dengan kehidupan nyata kita sehari-hari. Berkisah tentang perjalanan hidup seorang laki-laki bernama Takuto yang tidak suka “bermain peran” terus menerus dalam hidupnya. Sehari-hari, dia selalu berusaha menjadi sosok yang diidamkan oleh lingkungannya. Dia berpura-pura menyukai apa yg tidak dia suka. Berbicara sesuai dengan ekspektasi orang lain. Kamuflase.. ya .. dia tidak suka dengan itu. Hingga pada suatu hari, dokter memvonisnya menderita ALS (Amyotrophic Lateral Sclerosis). ALS adalah penyakit neuromuskular yang progressif. Pada penderita ALS terjadi degenerasi yang progressif terhadap sel syaraf motorik di otak dan tulang belakang. Saat syaraf motorik tidak lagi mampu mengirim impuls ke otot, maka otot mulai mengalami atropi menyebabkan kelemahan otot. Hingga pada akhirnya penderita pun harus menyiapkan dirinya menggunakan ventilator. Karena penyakitnya bahkan akan merenggut kemampuannya untuk bernapas. Lalu dengan keadaannya yang seperti ini, apakah dia perlu berjuang untuk tetap bertahan hidup? Masihkah berarti hidupnya dengan keadaannya yg terus memburuk?
Alur ceritanya apik sekali sarat dengan pelajaran kehidupan.. tapi.. kalau ditanya apa saya suka filmnya? saya jawab, “tidak”.. Tempo ceritanya terlalu lambat.. Dengan tempo cerita yang seperti ini bikin males buat ngikutinnya.. hehe.. tapi berhubung kakak aku bilang rame, aku coba nonton episode 1 dan episode akhirnya.. dan entah kenapa pikiranku jadi nyangkut kemana-mana :p Mungkin juga karena sebelum ini, saya pernah buat tulisan Growing Old and Deteriorating Health, gara-gara nonton film ini saya jadi punya cara pandang lain tentang keadaan kritis pada seseorang.
Saya mau tunjukkan cuplikan adegan yg walaupun tanpa menonton filmnya secara utuh kamu bisa dapet alur ceritanya
adegan ini cukup sukses bikin saya mewek T.T <-- lebay!! hehe
I'm sure everyone has thought of this
at least once...
'What is the purpose of my life?'
…
Before I became sick
I spent my everyday life aimlessly...
without having any specific goals.
I didn't have an identity.
I even hid how I really felt
from my family.
I didn't like myself
for always playing a character.
…
At the end of my senior year in college, my classmate killed himself.
I don't know the reason
but he had a hard time finding a job. *catatan: kakak kelasnya ini sudah melamar sampai 100 pekerjaan dan ga ada satupun perusahaan yg nerima dia*
I was incredibly shocked but...
I didn't feel his 'death' related to my own life.
Because I thought my life would continue as usual.
...
It was in my first year working for a company...
when I was informed that I had a disease.
It's a disease called ALS that causes muscle atrophy.
At first, I felt a strange sensation in my left hand.
I had trouble holding objects with it.
Then one thing after another, I lost all strength in my left hand...
Then I couldn't raise my left arm,
and then I couldn't move my left leg.
My right hand still moves a little...
but I cannot raise my arm.
My right leg doesn't move
so I can't walk or stand up.
Someday I won't be able to swallow things or even breathe.
If I can't breathe, I will die.
So I will need a machine called a ventilator to support my breathing.
But with a ventilator, I won't be able to speak.
Although I won't speak, I will be able to convey my feelings by...
typing in a computer by using a sensor, as long as I can move one part of my body.
If I can't move any of my muscles, I might not be able to communicate.
I'm not sure if I will be able to feel that I'm alive.
Once I'm on a ventilator, I can't remove it.
…
I have prepared myself many times
since I got this disease.
…When I decided to tell people around me about the disease...
…When I decided to live in the present by accepting the disease...
…When I couldn't use my left arm completely...
…When I couldn't walk...
…When I couldn't work anymore...
This disease took so many things away from me.
I was scared when I looked at the things that were taken away.
So all I could do was focus on what's possible at each moment.
It was a cycle of finding a goal … and losing it.
Currently my goal is to enter medical school.
I don't know how many years it will take to pass the exams...
or how long I can keep pursuing that.
But this disease can't take away my
willingness to enter medical school.
In the future, even when all my goals are taken away from me...
the fact that I live pursing my goal also can't be taken away.
And this disease didn't only give me suffering and despair.
I've learned about the warmth of people.
I can be open with my family and tell them what I want now.
I can believe in love now.
I like myself a little more now.
It made me realize the happiness that I have now.
That I can speak like this.
…To be able to walk...
…To run...
…To eat...
…To laugh...
…To touch each other...
…To feel the wind...
…To be enveloped in sunshine...
…To live at this moment...
That I was born into this world.
Now I have to prepare myself again.
Whether or not
I am going to be on a ventilator.
I am scared to die,
but I am scared to live.
It's not easy to prepare myself to die or live.
The people around me say that
all they want from me is to keep living.
Will I be able to keep living
just for my family and loved ones?
Will I be able to keep living
when I can't fully communicate?
I have no clue at all.
One thing I know for sure is...
that I am enveloped by love and warmth no matter what condition I'm in.
My family...
My friends...
My senior...
My doctor and the hospital staff...
The care workers...
And...
My girlfriend who always stays next to me.
Will I be able to live only with love and warmth?
Will I be able to feel the meaning of life only with them?
And not just that,
but I can't do anything...
Instead, I create more work for people by living.
Using the toilet, bathing, eating, sucking out phlegm...
Is it okay for me to live like that?
I've been thinking about that.
Maybe people around me will find a purpose in life if I am alive?
Maybe I can tell society the meaning of life just by the fact that I'm alive?
Then what do I need to do to be myself when all I can do is to live?
When that happens...
What will support me is
the time I've lived until then... The hours of my life.
I've prepared myself.
I've prepared myself to live.
I will do my best until the time comes in the future.
“Bertahan hidup untuk membuat orang lain memiliki arti dalam hidup.” Ini kesimpulan bebas yang saya buat si.. mungkin yg lain bisa menangkap pesan yg lebih baik daripada saya :D
Seperti yang saya bilang.. gara2 nonton episode terakhir film ini pikiran saya jadi nyambung kemana-mana.
Pertama, saya jadi sadar.. di luar sana ada orang yang sedang berjuang mati-matian untuk tetap hidup.. satu kenikmatan yang seringkali dilupakan oleh mereka orang-orang sehat. Sebenarnya, ini bukan kali pertama saya melihat adegan semacam ini, dalam kehidupan nyata tidak sedikit saya temukan realita seperti ini, meskipun dengan penyakit yang tidak separah ALS. Mereka adalah orang-orang dengan disabilitas yang seringkali menjadi marginal karena “ketidaknormalan” mereka. Atau orang-orang tua yang secara alami kehilangan fungsi normal tubuhnya karena begitulah sunatullah. Walaupun ada juga, orang-orang yang karena “kekurangannya” justru mengutuk hidup, menyalahkan Tuhan, dan berharap hidupnya lebih baik berakhir saja. Maka disinilah letak titik krusial sebuah perspektif akan hidup. Tidak peduli seseorang percaya Tuhan atau tidak, percaya agama atau tidak.. orang-orang dengan determinasi, ia selalu punya perspektif positif akan apa pun yang ada di hadapannya. Dan determinasi ini lah yang membuatnya tetap bertahan dan tidak putus asa untuk mencapai apa-apa yang telah ia targetkan.
Kedua, semua orang pasti akan berbenturan dengan satu titik dimana dia akan bertanya tentang apa tujuan hidupnya, untuk apa dia tetap bertahan hidup, what makes life worth living? semua orang.. tanpa kecuali. Ada orang-orang yang benar-benar mencari jawabnya, ada orang-orang yang terlarut dengan kesibukan dan melupakannya, ada yang mengalihkan jawabannya dengan pencapaian impian-impiannya semata, dan ada pula orang-orang yg frustasi hingga akhirnya lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya. Lalu pikiran saya pun teringat pada kajian tafsir salah satu surat dalam juz amma, surat al-ashr. Ketika waktu menjadi saksi atas apa-apa yang telah dilakukan oleh manusia, apa-apa yang dibanggakan manusia, apa-apa yang dikejar oleh manusia, dari masa ke masa. Coba perhatikan sejarah yang terus berulang. Rasa benci, fitnah, dendam, pengejaran manusia terhadap kedudukan, harta, kekuasaan, popularitas, pembunuhan, serta pengusiran terhadap orang-orang yang menyeru kebenaran. What makes life worth living? Membuat sesuatu? Membangun hubungan baik dengan sesama? membantu satu sama lain? berupaya mengerjar impian? bermain? Improving knowledge? menjadi inspirasi untuk orang lain? bermanfaat bagi sesama? apa? apa? APA?! Semakin dipikir semakin bikin pusing, ga aneh kalau anti depresan laku,, ga aneh kalau setiap tahunnya hampir satu juta orang mati karena bunuh diri.
Berkutat pada kefanaan seperti tangan yang hendak menggenggam air, saking liquidnya tidak ada yg tersisa di tanganmu kecuali hanya sedikit. Maka satu hal yang sangat saya syukuri adalah nikmat berislam. Ketika Tuhanmu yang maha pemurah berbicara denganmu melalui alQuran. Dia tunjukkan determinasi yang menenangkan hatimu, mengobati segala kegundahanmu, meneguhkanmu, menghiburmu, membuka pintu-pintu harapan, bahkan membimbingmu menjadi sebaik-baik manusia.
Ketiga, terkait perkembangan teknologi peralatan-peralatan life saving. Di episode terakhir film ini, ada seorang anak kecil mendatangi Takuto dan menunjukkan perkembangan teknologi di bidang medik. Teknologi berupa alat bantu pergerakan yang digerakkan oleh sinyal otak. Belum ada aplikasi klinisnya, tapi teknologinya sedang dikembangkan. Lalu saya pun jadi teringat dengan salah satu isi kuliah dulu saat pak dosen bercerita tentang proposal pembangunan industri bahan baku farmasi di Indonesia yang kandas karena dianggap tidak lebih menguntungkan dibandingkan impor *saat diajukan kurs dollar tidak setinggi seperti sekarang* ataupun pembangunan industri bahan baku yang payback periode nya terlalu lama.. tidak menguntungkan secara hitung-hitungan bisnis *padahal sang dosen ditawari mensuplai bahan baku farmasi seASEAN*. Saya pun jadi berpikir, mungkinkah teknologi tinggi di dunia kesehatan di Indonesia bisa dikembangkan? Ketika obat-obatan yang pasarnya sudah jelas saja masih dianggap tidak menguntungkan. Lalu bagaimana dengan robotika? alat bantu bagi mereka penyandang disabilitas? Pasarnya lebih sedikit lagi.. dan jangan tanya kemampuan ekonomi mereka.. Apakah kematian saja yang diharapkan? Sebagaimana Hitler dahulu hanya membiarkan hidup manusia-manusia dengan karakter unggulnya dan menghabisi “semua manusia cacat” agar keturunan Arya menjadi manusia-manusia terbaik di dunia?? Sekalipun saya juga meragukan cerita pembantaian yg dilakukan Hitler *berhubung ceritanya simpang siur* tapi satu hal yang pasti hari ini.. bahwa nyawa, quality of life semua ada label harganya -_-
Komentar
Posting Komentar